Senin, 03 Desember 2012

Peran Konteks dalam Wacana



SEMANTIK
Peran Konteks dalam Wacana


Makalah


Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Harian


Oleh :

            1.     Ferlianus T.
            2.     Inri Sitohang
            3.     Lisna B. M
            4.     Suri Rahayu
            5.     Yana Anisah


DIK EKSTENSI B 2011
KELOMPOK 9





FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
M E D A N
2 0 1 2



KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr. Wb
Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Peran Konteks dalam Wacana”  dalam rangka memenuhi tugas di semester III Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan (UNIMED). Tak lupa juga teriring shalawat dan salam bagi junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dalam hal isi maupun dalam pemakaian kata. Untuk itu penulis mengharapkan masukan demi kesempurnaan makalah ini.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung penulisan makalah ini, antara lain :
1.      Secara khusus dan teristimewa diiringi kasih sayang penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kedua orang tua kami yang telah banyak memberikan dukungan moril dan materil hingga selesainya tugas ini.
2.      Ibu dosen mata kuliah Semantik Universitas Negeri Medan.
3.      Untuk sahabat-sahabat kami stambuk 2011 Ekstensi B.
4.      Untuk senior kami di Universitas Negeri Medan, khususnya Harry Syahputra Gultom dan Saddam Husein Chaniago yang turut membantu dalam menyelesaikan tugas kami ini.
Akhir kata penulis berdo’a semoga Allah SWT membalas budi baik mereka, Amin.
Wabillahi Taufiq Wal Hidayah, Wassalammu’alaikum Wr. Wb.

                      Medan,       November 2012
                      Penulis,

                      Kelompok IX





DAFTAR ISI

                                                                         Halaman
KATA PENGANTAR..............................................................       i
DAFTAR ISI............................................................................      iii
BAB   I     PENDAHULUAN..................................................       1
A.    Latar Belakang Masalah...................................        1
B.     Batasan Masalah...............................................        1
C.     Rumusan Masalah............................................        1
D.    Tujuan Penelitian..............................................        2
E.     Manfaat Penelitian............................................        2
BAB II      PEMBAHASAN....................................................        3
A.    Peranan Konteks...............................................        3
B.     Ciri-Ciri Konteks..............................................        3
C.     Hakikat Konteks...............................................        9
D.    Jenis Konteks....................................................       10
BAB III... PENUTUP..............................................................       15 
A.    Kesimpulan.......................................................       15
DAFTAR PUSTAKA..............................................................       16




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Semantik merupakan cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna kata. Sedangkan wacana merupakan kumpulan gramatik terbesar atau tertinggi yang dilengkapi oleh sebuah ide pokok serta beberapa gagasan penunjang yang berkesinambungan terhadap sebuah karangan yang merupakan bagian dari linguistik.
Hubungan semantik dengan wacana. Hubungannya yaitu apabila di dalam teks wacana ada satu teks yang hilang maka makna teks tersebut maknanya akan berbeda. Berdasarkan penjelasan di atas, kami dapat mengambil kesimpulan bahwa hubungan semantik dengan ilmu lainnya itu berkaitan dengan makna yang ingin disampaikan kepada seorang pengguna bahasa.
Dalam sebuah wacana terdapat konteks yang harus kita semua ketahui. Maka, penulis akan memulai membahas tentang apa dan bagaimana konteks di dalam sebuah wacana yang harus kita semua ketahui.

B.     Batasan Masalah
Mengingat ruang lingkup permasalahan yang bisa meluas cakupan pembahasannya dan untuk mempermudah penelitian serta penulisan agar lebih terarah, mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan yang dimiliki penulis maka penulis membatasi fokus permasalahan Peran Konteks dalam Wacana.

C.    Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimanakah peran konteks dalam wacana?

D.    Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menambah pemahaman tentang peran konteks dalam wacana serta untuk melengkapi tugas harian dari dosen mata kuliah Semantik di kelas Ekstensi B 2011.

E.     Manfaat Penilitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
  1. Bagi penulis, hasil dari penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan pengetahuan tentang filsafat dan ilmu.
  2. Bagi perkuliahan/sekolah, hasil penelitian ini berguna sebagai input berupa informasi, yang diharapkan pula akan memudahkan dalam pembelajaran.
  3. Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dan pembanding bagi peneliti selanjutnya.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Peranan Konteks
Sejak permulaan tahun 1970, para pakar bahasa menyadari akan pentingnya konteks untuk menginterpretasi ujaran atau pun kalimat; sehingga pendekatan seorang analis wacana pada data jauh berbeda dari ahli informasi bahasa formal. Seorang analis wacana mempelajari bahasa dalam konteks minatnya lebih tertuju pada saat tertentu dari pada hubungan potensial antara satu kalimat dengan yang lain tanpa memperhatikan penggunaannya. Seorang analis wacana berusaha menjelaskan apa yang dikerjakan oleh pembicara dan pendengar; sehingga dikatakan oleh Brown dan Yule (1984) bahwa seorang analis wacana mempelajari bahasa dengan pendekatan pragmatis (a pragmatic approach to the study of language) ini. Telah dinyatakan sebelumnya bahwa peranan konteks sangat penting dalam analisis wacana. Kedua contoh berikut ini memperjelas peranan konteks dalam penggunaan bahasa. Kata "pintar" mengandung makna yang berbeda bahkan bertolak belakang pada kedua contoh di bawah ini.
  • Penutur seorang bapak, pendengarnya istrinya. Tempat di rumah mereka. Pada suatu sore hari, mereka mendengarkan anak mereka yang masih berumur dua setengah tahun menyanyikan lagu Balonku Ada Lima dengan lancar. Bapak tersebut berkata : "Pintar ya dia".
  • Penutur seorang ibu. Pendengarnya suaminya. Si ibu menyuruh anaknya perempuannya memanaskan masakan untuk makan malam. Si anak lupa mematikan kompor, sehingga makanannya jadi hangus. Ibu tadi lalu berkata: "Pintar dia ya".
B.     Ciri –Ciri Konteks
Dell Hymes merinci unsur-unsur konteks sebagai berikut:
1.      Penyampaian, yaitu penutur atau penulis yang menghasilkan ujaran atau tulisan, penerima, yaitu pendengar atau pembaca yang menerima pesan dalam ujaran atau tulisan.
2.      Unsur topik, yaitu apa yang dibicarakan oleh penyampai dan penerima. Pengetahuan analis tentang topik sangat membantu analisisnya.
3.      Unsur konteks berikutnya adalah setting yang meliputi waktu, tempat, dan peristiwa.
4.      Unsur lainnya adalah saluran yaitu bagaimana komunikasi antara penyampai dan penerima dilakukan, apakah melalui tulisan atau lisan.
5.      Unsur kode adalah bahasa atau dialek mana yang dipakai dalam interaksi.
6.      Unsur hasil akhir dari komunikasi. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa unsur-unsur tersebut akan memudahkan seorang analis wacana dalam memperkirakan bentuk isi suatu wacana.
 Konteks wacana adalah aspek-aspek internal wacana dan segala sesuatu yang secara eksternal melingkupi sebuah wacana.
Berdasarkan pengertian tersebut maka konteks wacana secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
1.      Konteks bahasa adalah disebut ko-teks. Di sini, konteks bahasa atau ko-teks itulah yang disebut dengan istilah “konteks internal wacana” atau disingkat “konteks internal.
2.      Konteks luar bahasa disebut dengan konteks situasi dan konteks budaya atau konteks saja (Malinowski dalam Sumarlam, 2003:47).  Sedangkan segala sesuatu yang melingkupi wacana, baik konteks situasi maupun konteks budaya itu disebut dengan nama “konteks eksternal wacana” atau disingkat “konteks eksternal”.
Humpty Dumpty mengatakan, “Jika saya menggunakan kata, itu berarti bahwa apa yang saya pilih adalah maknanya tidak lebih dan tidak kurang”. Beberapa linguis menggarisbawahi pentingnya konteks dan menghapuskan keyakinan bahwa ada “makna tersendiri” yang melekat dalam tiap kata, menjurus ke arah yang sama dengan kata-kata H.Dumpty yang dogmatis tersebut. Penyataan seperti “kata itu ada hanya melalui konteks dan tak ada apa pun di dalam kata itu”, sebagaimana yang diucapkan orang, tidak akurat dan tidak realistis. Memang amat benar, dan bahkan merupakan suatu truism, bahwa kata-kata itu hampir selalu terdapat dalam konteks tertentu, tetapi ada juga kenyataan bahwa ada kata yang sepenuhnya dapat berdiri sendiri, tanpa bantuan suatu konteks dan masih tetap bermakna. Judul karangan yang menggunakan judul kata tunggal seperti Resurrection karya Tolstoy, Ghost karya Ibsen, Persuasion karya Jane Austen, atau Perburuan karya Pramudya, bisa syarat dengan makna, dan bahkan judul yang eliptis seperti If karya Rudyat Kipling dan Nothing karya Henry Green itu juga menyembunyikan sesuatu gagasan.

Dalam percakapan sehari-hari kita sering mendengar pertanyaan, apakah makna kata ini atau itu?, atau “Apa bahasa Indonesianya kata ini?” pertanyaan ini menyarankan adanya makna tertentu dalam kata. Lagi, orang yang tahu sedikit bahasa Inggris pasti bisa mencari padanan kata-kata seperti yellow, run, pencil dalam bahasa Indonesia tanpa menggunakan konteks. Jika benar bahwa kata-kata itu tidak mempunyai makna di luar konteks maka dengan sedirinya orang tidak rnungkin bisa menyusun kamus. Seorang ahli semantik terkenal G.Stern, mengemukakan, “Kita tidak bisa lari dari kenyataan bahwa sesuatu kata tentu mempunyai makna tetap, bahwa kata-kata itu benar mengacu kepada suatu acuan tertentu, dan bukan kepada yang lain, dan bahwa karakteristik ini merupakan dasar kokoh semua komunikasi”. Memang pernyataan ini rasanya seperti ucapan seorang awam, tetapi baru-baru ini kebenarannya sudah dibuktikan oleh beberapa data eksperimen. Serangkaian tes yang dirancang untuk mempelajari pengaruh konteks terhadap makna menunjukkan bahwa biasanya pada sebuah kata ada sebuah inti makna yang secara relatif stabil dan hanya dapat dimodifikasikan oleh konteks dalam batas-batas tertentu.
Sebaliknya, tidak seorang pun dapat menolak pentingnya konteks dalam penentuan makna kata. Sepanjang masalahnya menyangkut konteks verbal (konteks berupa ujaran atau bahasa), hal ini sudah diketahui oleh beberapa pionir di bidang semantik sebagai suatu hal yang fundamental. Misalnya, Darmesteter berbicara tentang berbagai unsur penyatu kalimat yang memodifikasikan makna setiap kata. Begitu pula kutipan-kutipan kalimat dalam perkamusan (leksikografi) diakui sebagai dasar tuntutan oleh penyusun kamus seperti Dr. Johnson, yang menyusun Oxford English Dictionary, dan juga para penyuntingnya yang kemudian menggantikannya. Tetapi, para linguis modern ternyata tidak hanya menempatkan tekanan yang besar terhadap konteks itu, melainkan sudah memperluas sekali ruang lingkupnya dan mempersoalkan lebih dalam lagi ke arah pengaruh konteks terhadap makna kata.
Rentangan istilah “konteks” sudah diperluas dalam berbagai teori bahkan konteks verbal itu tidak lagi terbatas pada apa yang mendahului dan mengikuti sesuatu kata saja, melainkan dapat meliputi keseluruhan wacana, dan kadang- kadang sebuah buku, di mana kata itu berada. Kecenderungan ini terutama dapat dicatat pada kritik-kritik stilistika, yang mengatakan bahwa pengertian lengkap sesuatu istilah yang penting hanya dapat diraba dengan melihat sesuatu karya secara keseluruhan. Ketika orang memulai membaca novel La Peste karya Camus, kata peste ‘pes’, mula-mula tampak mengacu kepada penyakit yang membinasakan kota Oran pada tahun 1940-an. Begitu orang itu terus membaca, dia secara perlahan-lahan menyadari bahwa istilah itu juga mempunyai beberapa lapis makna simbolik yang terpendam: kata itu rnerupakan suatu alegori tentang pendudukan Jerman atas Prancis, dan dalam arti luas, tentang setan dengan semua segi metafisika dan moralnya, dan implikasi-implikasi ini terus bisa diperluas dan diperdalam sampai kalimat terakhir dalam buku itu.
Di samping konteks verbal itu, linguis juga harus menaruh perhatian kepada apa yang disebut konteks situasi. Konteks ini diperkenalkan ke dalam linguistik oleh seorang antropolog Bronislaw Malinowski berdasarkan pengalaman lapangannya tentang bahasa dan kebudayaan penduduk Trobriand Island di Fasifik selatan. Konteks situasi itu tidak hanya berarti situasi yang sebenarnya tempat ujaran terjadi, tetapi juga rnenyangkut keseluruhan latar belakang budaya di mana peristiwa tutur itu muncul. Menurut Malinowski, “konsep tentang konteks itu harus menembus ikatan-ikatan yang hanya bersifat kebahasaan dan harus diteruskan kepada analisis terhadap kondisi-kondisi umum yang memayungi ketika hahasa itu dituturkan. Studi tentang sesuatu bahasa, yang dipakai oleh orang yang hidup berbeda kondisinya dilakukan dalam hubungan dengan studi tentang kebudayaan dan lingkungan mereka”.
Prinsip ini sangat penting sekali bagi semantik historis. Makna sepenuhnya dan selengkapnya dari sebuah kata dapat ditangkap kembali hanya jika kita tempatkan kata itu dalam konteks budaya pada zaman kata itu hidup. Misalnya, kata Latin rex ‘raja’ tidaklah persis sama maknanya dengan king ‘raja’ dalam bahasa Inggris atau roi ‘raja’ dalam bahasa Prancis, karena rex itu, yang mengacu bentuk monarki pada awal sejarah Romawi, mempunyai konotasi mengerikan dan menjadi lambang tirani: “setelah pengusiran Tarquinius orang Romawi segan mendengar kata ‘raja’ itu, tulis Cicero dalam De Republica. Konteks budaya itu bahkan lebih relevan untuk memahami sepenuhnya apa yang disebut “kata kunci” (key-word) yang mengikhtisarkan cita-cita suatu peradaban tertentu: misalnya kata cortegiano dari zaman Renaissans Italia, honnete homme dari zaman Prancis abad ke-17, dan kata Inggris gentelman (semua itu kira-kira berarti seorang laki-laki yang memang seharusnya begitu, ‘yaitu jantan’).  Kata gentelman kemudian hidup terbesar dalam bahasa Eropa daratan, tetapi ada sedikit perubahan tekanan dan perubahan dalam implikasi nuansa.
Perluasan cakupan konteks ini, baik kebahasaan maupun nonkebahasaan, telah membuka cakrawala baru bagi studi makna. Apa yang menjadi tujuan kita ialah “urutan kontekstualisasi atas fakta-fakta, konteks dalam konteks, masing-masingnya menjadi sebuah fungsi, suatu organ dalam konteks yang lebih besar dan semua konteks itu menyatu dalam wujud yang bisa disebut konteks budaya” (R, Firth, 1957: 32 dalam Sumarsono 2011).
Semantik modern juga mulai memerhatikan lebih cermat terhadap dampak konteks atas makna. Kini cukuplah dikatakan secara singkat beberapa bentuk utama dari dampak itu. Secara umum dapat dikatakan ada dua jenis pengaruh konteks terhadap terhadap kata, yaitu yang berpengaruh terhadap kata apa saja, dan yang lebih besar berpengaruhnya terhadap beberapa kata daripada kata yang lain. Tiap kata, tidak peduli betapa tepat dan pasti maknanya, akan menurunkan dari konteksnya suatu kepastian (makna) yang pada hakikatnya hanya dapat muncul dalam ujaran-ujaran yang spesifik. Ini pun berlaku bagi nama diri (proper name), jenis kata yang paling konkret di antara semua jenis kata yang ada. Nama diri itu mempunyai berbagai aspek, tetapi hanya satu aspek saja yang paling relevan untuk sesuatu situasi tertentu. Misalnya, jika kita berbicara tentang Soekarno, hanya konteksnya lah yang akan menunjukkan apakah kita sedang berbicara tentang presiden pertama RI atau tentang bekas Kepala Kepolisian RI tahun 1960-an, atau tentang Sukarno-Sukarno yang lain. Faktor lain yang sangat bergantung kepada konteks adalah segi emotif makna kata. Pendeknya, tiap kata praktis dapat memperoleh unsur emotif dalam suatu konteks; sebaliknya, ada kata-kata yang mempunyai visi emosional yang kuat, kadang-kadang malahan diperlakukan biasa-biasa saja. Misalnya, dalam bahasa Inggris, kata home dianggap sebagai salah satu kata yang mempunyai nilai emotif tinggi, dipakai dalam banyak konteks, seperti “home sweet home”, “England home and beauty,” dst.; tetapi nilai emosi itu benar-benar dipreteli dalam konteks seperti Home Office, BBC Home Service.
Di samping pengaruh umum ini, konteks itu dapat juga memegang peranan vital dalam memastikan makna kata yang samar atau kabur jika berdiri sendiri. Contoh yang jelas dalam hal ini adalah kata do dalam bahasa Inggris, yang begitu banyak mempunyai variasi penggunaan sehingga jika berdiri sendiri menjadi kabur. Tetapi kita kadang-kadang juga bisa melihat adanya kata yang mempunyai berbagai jenjang makna, yang sangat bebas dari konteks. Misalnya, baru-baru ini ada eksperimen yang menunjukkan bahwa orang Jerman jika diminta untuk membuat kalimat dengan kata Negel secara otomatis dia akan menggunakan kata itu dengan makna ‘paku logam’, padahal kata itu juga mempunyai makna ‘kuku tangan, kuku kaki’.
Jenis kekaburan atau keambiguan lain yang kepastian maknanya hanya bisa ditentukan oleh konteks adalah kata-kata yang mempunyai berbagai kemungkinan untuk masuk ke berbagai jenis kata. Hal ini khususnya banyak terjadi pada bahasa Inggris, di mana banyak kata yang bisa berpindah dari satu jenis kata ke jenis kata yang lain melalui proses yang disebut konversi. Seperti yang pernah kita bicarakan di muka, kata down misalnya, bisa masuk ke dalam setidaknya lima jenis kata. Kata-kata berikut ini mempunyai hirarki atau jenjang fungsi: fire ‘api’ mempunyai fungsi utama nomina, tetapi bisa juga dipakai sebagai verba; have terutama adalah verba, tetapi bisa menjadi nomina dalam bentukan seperti the haves and the have-nots ‘si kaya dan si miskin’. Konversi itu juga dapat menjadi perabot gaya, seperti dalam “it out-herods Herod” yang diciptakan Shakespare, “but me not buts” ciptaan Walter Scott.
Peranan konteks itu menjadi makin esensial dalam hal homonim. Dalam bahasa Inggris, misalnya, kata sole sulit dicari padanannya dalam bahasa lain, karena sebenarnya ada tiga kata sole yang masing-masing mempunyai arti: adjektiva, ikan, dan sol sepatu. Ini tidak termasuk kata soul ‘jiwa’ yang dilafalkan sama dengan sole meskipun tulisannya berbeda.
Jadi jelaslah, pengaruh konteks itu sangat beragam: pengaruh itu berbeda dari kata yang satu ke kata yang lain, dan berbeda dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Ungkapan-ungkapan yang penuh dengan homonim misalnya akan sangat bergantung kepada konteks supaya menjadi jelas mana yang dimaksud. Makin banyaknya konversi (beralihnya kata dari satu jenis kata ke jenis kata yang lain) akan menambah pentingnya konteks. Sejumlah faktor yang ikut menentukan peranan konteks akan makin bertambah jika kita mulai berbicara tentang keistimewaan atau keganjilan makna suatu kata. Namun, sebelum kita sampai ke sana, kita perlu lebih dulu melihat lebih dekat puncak dari semua teori semantik, yaitu hakikat makna itu sendiri.
C.   Hakikat Konteks
Sesuai dengan namanya konteks berarti yang berkenaan dengan teks, yakni benda-benda atau hal-hal beserta canda bersama teks dan menjadi lingkungan itu. Menurut Brown dan Yule (1983), konteks adalah lingkungan (envirenment) atau keadaan (circumstances) tempat bahasa digunakan. Dapat pula dikatakan bahwa konteks adalah lingkungan teks. Di samping istilah konteks dalam khasanah istilah linguistik Indonesia juga digunakan istilah lingkungan, lingkupan yang sama mempunyai makna yang berbeda karena konteks yang berbeda.
Dardjowijojo (1985) menyebutkan bahwa ada dua lingkungan atau konteks dalam penggunaan bahasa, yakni konteks linguistik dan konteks ekstra linguistik. Dalam wujudan yang berupa konteks linguistik (berupa unsur bahasa) konteks adalah satuan bahasa (kata, frasa, kalimat atau untaian kalimat) yang mendahului atau yang mengikuti unsur bahasa dalam ujaran. Konteks linguistik tersebut juga diistilahkan dengan konteks, yakni bagian teks yang menjadi lingkungan sebuah teks dalam teks yang sama makna pronomina posesif.
D.   Jenis Konteks
Secara garis besar konteks dapat dipilih menjadi dua kategori , yakni konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.
1.     KONTEKS LINGUISTIK
Konteks linguistik merupakan konteks wacana atau lingkungan wacana yang berupa unsur bahasa yang mencakup :
1.     Penyebutan depan
Penyebutan depan adalah lingkungan linguistik yang berupa bagian wacana yang disebut terdahulu <perior-mention> sebelum bagian teks yang lain. Dari penyebutan itulah status sebuah acuan <suatu yang dimaksudkan> dapat terwujud dan dapat dikenali.
2.     Sifat kata kerja.
Kata kerja digolongkan menjadi dua macam, yaitu generik dan tak generik. Kata kerja generik adalah kata kerja yang penggeraknya tidak dapat menjadi informasi lama, yakni informasi yang tidak dapat disebut kembali dengan pemerkah definisi ini dan itu. Sedangkan kata kerja tak generik yakni benda yang mengikutinya dapat diikuti objek dan objeknya dapat disebut kembali dengan pemerkah definisi ini dan itu.
3.     Kata kerja konteks.
Kata kerja konteks adalah kata kerja yang ditambahkan pada kata kerja utama. Ada kata bantu ...... <yang menunjukan sikap batin : harus, pasti, mungkin, ingin, suka, mau dan sebagainya> sedangkan kata kerja bantu aspek <yang menunjukan keberlangsungan kerja, sudah, akan, belum, baru dan sebagainya>.
4.     Proposisi positif.
Secara sederhana proposisi dapat diartikan sebagai pertanyaan secara teknis dapat diartikan sebagai konfigurasi makna yang terjadi dari hubungan antara unsur subjek dan predikat serta unsur-unsur yang lain dalam klausa atau kalimat atau apa yang dikemukakan oleh penutur/penulis, atau tentang apa yang terungkap dalam sebuah teks wacana.
2.     KONTEKS EKSTRALINGUISTIK
Jenis konteks ekstra linguistik yaitu :
1.     Pranggapan
Pranggapan adalah ungkapan yang sudah ada yang menjadi syarat bagi benar salah satunya suatu kalimat. Pranggapan itu merupakan (pengetahuan) landasan bersama (camman ground) bagi pengguna bahasa. Stalnaker (Brown dan Yule 1983) menyatakan bahwa pranggapan adalah apa yang dimiliki untuk dijadikan landasan bersama partisipasi dalam komunikasi verbal.
2.     Partisipasi
Partisipasi adalah orang yang berpartisipasi dalam peristiwa itu. Semua pelaku yang partisipasi pada peristiwa itu disebut partisipan.
3.     Topik dan kerangka topik
Topik adalah pokok isi sebuah wacana. Topik dalam sebuah wacana dapat dikenali dengan pertanyaan, tentang apa yang dikemukakan oleh penutur/penulis, atau tentang apa yang terungkap dalam sebuah teks wacana. Topik merupakan pengikat satuan-satuan teks pembentuk wacana. Kalimat dalam teks juga harus berisi informasi yang relevan dengan topik.
Dengan menggunakan topik tertentu suatu interaksi dapat berjalan dengan lancar. Namun, dalam kehidupan sehari-hari apa yang disebut dengan topik sangat kompleks sehingga para ahli wacana menamakannya dengan kerangka topik.
Kerangka topik adalah topik besar atau topik atasan yang meliputi sejumlah topik bawahan. Jadi, istilah topik dan kerangka topik diberlakukan manakala dalam teks terdapat topik atasan dan topik bawahan.
4.     Latar
Latar (seting) adalah konteks kewacanaan yang berupa tempat, waktu dan peristiwa. Konteks tersebut sangat berpengaruh dalam penggunaan satuan unsur wacana. Sebuah peristiwa berpengaruh dalam penggunaan tuturan dalam wacana. Dalam peristiwa kecelakaan biasanya akan muncul kalimat-kalimat :
Apakah ada yang meninggal?
Siapa yang bersalah?
Bagian yang ditanyakan juga bermacam-macam, bergantung pada perhatian penutur.
5.     Saluran komunikasi
Lisan dan tulis itu merupakan saluran bahasa. Di samping itu bahasa juga digunakan secara langsung (tanpa sarana/alat) atau juga secara tidak langsung(dengan sarana/alat) dalam bahasa tulis, unsur isi diungkapkan lebih lengkap daripada bahasa lisan.
6.     Kode
Istilah kode digunakan dalam model ini dengan pengertian bahasa atau dialek beserta ragam-ragamnya : ragam baku, ragam resmi, ragam akrab, dan ragam intim.
Anda tentu bersikap dengan kesungguhan ketika anda mengikuti acara doa dituturkan dengan ragam resmi, bahkan ada yang menggunakan ragam baku bahkan ragam yang tidak dapat diubah. Anda sebagai peserta doa, lebih sering diharapkan pada satu pilihan sahutan saja, yaitu “aamiin”, dan tidak boleh dengan kata lain yang bersinonim setuju.
3.     PENGGUNAAN KONTEKS DALAM ANALISIS WACANA.
Satuan bahasa yang dianalisis dalam analisis wacana adalah satuan bahasa yang terdapat dalam konteks. Satuan terkecil dalam wacana adalah kalimat atau unsur kalimat. Sasaran analisis wacana bukanlah struktur kalimat tetapi status nilai fungsional kalimat dan konteksnya. Berdasarkan uraian tersebut analisis wacana selalu memanfaatkan konteks, baik itu konteks linguistik maupun konteks ekstralinguistik.
Analisis wacana memiliki banyak sasaran, bergantung pada tujuan yang menjadi target analisis itu. Pada uraian berikut akan mempelajari penggunaan konteks dalam analisis wacana untuk mengenali struktur wacana, maka referensi dan inferensi dalam wacana, unsur-unsur serta keterkaitannya dengan wacana yang terbatas pada :
1.     Pengunaan konteks untuk mencari acuan
Konteks dapat digunakan untuk menentukan acuan. Acuan adalah hal atau benda yang disebut, dirujuk atau yang dimaksudkan dalam wacana. Acuan dapat terbentuk berdasarkan konteks wacana.
Salah satu acuan yang dicari dalam teks adalah acuan sebuah kata deiksis. Kata deiksis adalah kata yang acuannya dapat berpindah-pindah atau berganti-ganti. Acuan itu bergantung pada konteks tempat beradanya acuan itu.
2.     Penggunaan konteks untuk menentukan maksud tuturan
Hubungan tuturan dan maksud penutur dapat dipilah menjadi dua kategori yaitu : hubungan langsung dan tidak langsung. Hubungan langsung adalah hubungan yang terungkap secara eksplisit. Hubungan tidak langsung adalah hubungan yang dinyatakan secara implisit. Pemahaman terhadap maksud yang tidak langsung itu memerlukan pemikiran bertahap, salah satu maksud yang dicari berdasarkan konteks adalah makna acuan atau kepastian acuan.
3.     Pengunaan konteks untuk mencari bentuk tak terujar
Bentuk yang memiliki unsur tak terujar itu sering disebut dengan bentuk eliptis. Bentuk tak terujar itu hanya dapat ditentukan berdasarkan konteks. Bentuk eliptis banyak ditemukan dalam wacana dialog. Bentuk eliptis itu bukanlah bentuk yang salah, bahkan karena konteks bentuk eliptis itu merupakan bentuk yang cocok dengan konteks.
Contoh :
1.     Kemana saja anda tadi pagi?
2.     Kerumah adik
1.     Kemana saja anda tadi pagi?
2.     Saya tadi pagi kerumah adik.




BAB III
PENUTUP

           A.    Kesimpulan
Seorang analis wacana mempelajari bahasa dalam konteks minatnya lebih tertuju pada saat tertentu dari pada hubungan potensial antara satu kalimat dengan yang lain tanpa memperhatikan penggunaannya. Seorang analis wacana berusaha menjelaskan apa yang dikerjakan oleh pembicara dan pendengar; sehingga dikatakan bahwa seorang analis wacana mempelajari bahasa dengan pendekatan pragmatis (a pragmatic approach to the study of language) ini.
Konteks wacana adalah aspek-aspek internal wacana dan segala sesuatu yang secara eksternal melingkupi sebuah wacana. Setiap wacana terdapat konteks di dalamnya. Sebuah kata yang kita kemukakan memiliki konteks juga di dalamnya. Adanya makna dari setiap kata membuat kata-kata itu memiliki konteks disetiap pemakaiannya.
Tak seorang pun dapat menolak pentingnya konteks dalam penentuan makna kata. Sepanjang masalahnya menyangkut konteks verbal (konteks berupa ujaran atau bahasa), hal ini sudah diketahui oleh beberapa pionir di bidang semantik sebagai suatu hal yang fundamental.




DAFTAR PUSTAKA

Brown, G. & Yule, G. 1984. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University
Dardjowidjojo, Soenjono (Ed.). 1985. Perkembangan Linguistik di Indonesia. Jakarta. Arcan
Sumarlam, dkk. (2003). Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra
Sumarsono. 2011. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sumarsono. 2011. Pengantar Semantik. Singaraja: Pustaka Pelajar



Tidak ada komentar:

Posting Komentar