PEMAKAIAN BAHASA
JENIS, RELASI, DAN PERUBAHAN MAKNA
Oleh:
KELOMPOK
7
EVA
NURHAFNI
EMI
MUHAMMAD
SADRI
RABBANI
SINAMO
SYAHYANTI
SOLIN
YAHNI
TRI PUTRI SANTURI
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang mana
penulis masih diberikannya kesabaran dan ketabahan dalam menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktunya yang telah ditentukan. Adapun penulis mengangkat judul
makalah dengan judul Pemakaian Bahasa,
Jenis, Relasi, dan Perubahan Makna.
Tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah hendak memenuhi tugas mata kuliah semantik yang
telah diberikan dosen pembimbing, agar kami lebih memahami pemakaian bahasa
itu. Sebelumnya penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan dalam tulisan yang dibuat oleh penulis, untuk itu
penulis meminta maaf.
Akhirnya,
penulis mengucapkan terima kasih dan mengharapkan kritik dan saran yang dapat
membangun makalah kami demi penyempurnaan dan perbaikan makalah ini
selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Medan,
Oktober 2011
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................
i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A.
Latra
Belakang Masalah...................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah................................................................................. 1
C.
Tujuan
Masalah ................................................................................... 1
BAB I PEMAKAIAN BAHASA JENIS RELASI
DAN PERUBAHAN MAKNA 2
A.
Pengertian
Makna................................................................................. 2
B.
Jenis-jenis
Makna.................................................................................. 4
C.
Relasi
Makna......................................................................................... 5
D.
Perubahan
Makna................................................................................ 7
BAB III PENUTUP.....................................................................................
14
1.
Kesimpulan
...................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 15
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada umumnya makna bahasa merupakan suatu tataran linguistik, semantik
dengan objeknya yakni makna yang berada di seluruh atau di
semua tataran fonologi, morfologi, dan
sintaksis yang dapat dilakukan serta digunakan. Di dalam kajian atau pembahasan yang mengenai perubahan
makna memiliki bagian-bagian yang harus dipaparkan dan diselesaikan.
Adapun bagian- bagian dari
perubahan makna tersebut yaitu, jenis-jenis makna, relasi makna, dan perubahan makna.
B. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah
penyelesaian masalah diatas kami membuat beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Apa
yang dimaksud dengan makna.
2. Apa
yang dimasud dengan relasi makna.
3. Apa
yang dimaksud dengan perubahan makna.
C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini ialah:
1.
Untuk
mengetahuai apa yang dimaksud dengan makna
2.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan perubahan dan jenis-jenis
perubahan makna.
3.
Untuk
mengetahui
apa yang dimaksud dengan relasi makna.
4.
Untuk mengetahui hubungan hubungannya dalam
pemakian bahasa.
BAB
II
PEMAKAIAN
BAHASA JENIS RELASI
DAN
PERUBAHAN MAKNA
A.
Pengertian
Makna
Menurut
KBBI ( Kamus Besar Bahasa Indonesia) makna yaitu arti, maksud dan pengertian
yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Maka dapat disimpulkan bahwa
makna merupakan suatu arti atau maksud terhadap sesuatu yang akan dimaknai
dalam pemakaian makna.
B.
Jenis-
Jenis Makna
Jenis-jenis makna
adalah berbagai ragam makna yang terdapat dalam sebuah bahasa. Jenis makna
menunjukkan adanya perbedaan makna. Makna kata dalam bahasa Indonesia bisa
beraneka ragam karena berhubungan dengan pengalaman, sejarah, tujuan, dan
perasaan pemakai bahasa. Meskipun pemakai bahasa itu beraneka ragam, namun
tetap memiliki makna dasar ( pusat).
Pateda (1986) misalnya
secara alfabetis telah mendaftarkan adanya 25 jenis kata, yaitu afektif, makna
denotatif, makna deskriptif, makna ekstensi, makna emotif, makna gereflekter,
makna ideasional, makna intense, makna gramatikal, makna kiasan, makna
kognitif, makna kolokasi, makna konotatif, makna konseptual, makna konstruksi, makna
leksikal, makna luas, makna piktorial, makna proposional, makna pusat, makna
referensial, makna sempit, makna stilistika, dan makna tematis. Ada istilah
yang berbeda namun tetap sama atau hampir sama, tetapi ada pula istilah yang
sama maksud berbeda.
Sementara itu, Leech(
1976) yang karyanya banyak dikutip dalam studi semantik membedakan adanya tujuh
tipe atau jenis makna yaitu makna konseptual, makna konotatif, makna stilistika,
makna afektif, makna reflektif, makna kolokatif, dan makna tematik.
Sesungguhnya jenis atau
tipe makna memang dapat dibedakan berdasarkan kreteria dan sudut pandang. Jika
berdasarkan jenis semantiknya makna dapat dibedakan yaitu makna leksikal dan
makna gramatikal. Sesuai dengan pembahasan makalah ini, maka akan kami jelaskan
apa itu makna leksikal dan makna gramatikal.
1)
Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal adalah bentuk
ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina, leksikal (vokabuler, kosakata, pembendaharaan
kata). Satuan dari leksikal adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang
bermakna. Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikal,
leksem, atau bersifat kata. Oleh karena itu, dapat pula dikatakan makna
leksikal adalah makna yang sesuai dngan referennya, makna yang sesuai dengan
hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam
kehidupan kita. Umpanya kata tikus
makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat
menyebabkan timbul penyakit tifus.
Makna ini tampak jelas
dalam kalimat Tikus itu mati diterkam
kucing, atau pada contoh Panen kali
ini gagal akibat serangan hama tikus. Di sini jelas dikatakan bahwa kata tikus pada kedua kalimat itu
menunjukkan kepada binatang tikus bukanlah
pada orang lain. Sedangkan pada contoh yang menjadi Tikus di dalam gudang kami
ternyata berkepala hitam. Contoh kalimat ini tidak merupakan leksikal
karena tidak menunjuk ke binatangnya melainkan kepada orang lain.
Berdasarkan contoh di
atas dapat disimpulkan bahwa makna leksikal dari suatu kata adalah gambaran
yang nyata tentang suatu konsep seperti yang dilambangkan kata itu. Kalau makna
leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan
referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat
adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses
komposisi. Proses afiksasi awalan ter- pada
kata angkat dalam kalimat Batu seberat
itu terangkat juga oleh adik berarti melahirkan makna ‘dapat’, dan dalam
kalimat Ketika balok itu ditarik papan
itu terangkat ke atas. Melahirkan
makna gramatikal tidak sengaja.
Oleh karena itu, maka
sebuah kata, baik kata dasar maupun kata jadian, sering sangat tergantung pada
konteks kalimat atau konteks situasi maka makna gramatikal ini sering disebut
makna kontekstual atau makna situasional. Selain itu juga, disebut makna struktural
karena proses dan satuan-satuan gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur
ketatabahasaan.
2)
Makna Referensial dan Nonreferensial
Makna referensial
adalah makna yang apabila kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar
bahasa yang diacu oleh kata itu maka tersebut disebut kata bermakna
referensial. Contohnya, kata meja dan
kursi termasuk kata yang bermakna
referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah
tangga yang disebut “meja”dan kursi. Sedangkan kalau kata-kata itu tidak
memiliki referen maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Contonya,
kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen. Jadi, kata dan tetapi termasuk
kata yang bermakna nonreferensial.
3)
Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif (sering
juga diasebut makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif karena
dilihat dari sudut yanga lain) pada dasarnya sama dengan makna referensial
sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai
dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan,
atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi
faktual objektif. Lalu karena itu makna denotasi sering disebut sebagai makna sebenarnya
umpamanya kata perempuan dan wanita kedua kata ini mempunyai makna denotasi
yang sama yaitu manusia dewasa bukan laki-laki. Begitu juga dengan gadis dan perawan; kata istri dan bini.
4)
Makna Kata dan Makna Istilah
Makna kata sebagai
istilah memang dibuat setepat mungkin untuk menghindari kesalahpahaman dalam
bidang ilmu atau kegiatan tertentu. Dalam bidang kedokteran kata tangan dan lengan digunakan sebagai istilah untuk pengertian yang berbeda. Tangan adalah pergelangan sampai
kejari-jari sedangkan lengan dari pergelangan sampai ke pangkal bahu. Telinga adalah bagian dalam dari alat
pendengaran sedangkan kuping adalah
bagian luarnya.
5)
Makna Konseptuan dan Asosiatif
Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan
konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari
asosiatif atau apa pun. Jadi, sebenarnya makna konseptual itu sama dengan makna
referensial, makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif
adalah makna yang dimiliki sebuah kata dan berkenaan dengan keadaan di luar
bahasa. Misalnya, kata melati
berasosiasi dengan makna suci atau kesucian, kata merah berasosiasai dengan makna berani, atau juga dengan golongan
komunis kata cendrawasih berasosiasi dengan makna indah.
6)
Makna Ideomatikal dan Peribahasa
Idiom adalah
satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal
unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut.
7)
Makna Kias
Penggunaan istilah arti
kiasan ini sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, bentuk
bahasa (baik kata, frase, maupun
kalimat) yang tidak merujuk pada arti kata sebenarnya (arti leksikal,
konseptual, atau denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk
seperti putri malam dalam arti bulan,
dan raja siang dalam arti matahari
semuanya mempunyai makna kiasan.
8)
Makna Lokusi, Ilokusi, dan
Perlokusi
Makna lokusi ialah
makna yang seperti dinyatakan dalam ujaran makna harfiah atau makna apa adanya.
Sedangkan makna ilokusi ialah makna yang seperti dipahami oleh pendengar.
Sebaliknya yang dimaksud dengan makn aperlokusi
adalah makna yang seperti diingankan oleh penutur.
C.
Relasi Makna
Setiap bahasa, termasuk
bahasa Indonesia seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi
semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan
bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan menyangkut hal kesamaan
makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi dan
ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi),
kelainan makna (homonimi), kelebihan makna ( redundasi).
1.
Sinonimi
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno,
yaitu Onoma yang berarti ‘ nama’ dan syn yang berarti ‘ dengan’ maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘ nama lain untuk benda
atau hal ya ng sama’. Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai
ungkapan (dapat berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih
sama dengan makna ungkapan lain. Contoh: Mati, wafat, meninggal, gugur, dan
mampus adalah lima buah jata yang bersinonim.
2.
Antonimi
Kata
antonomi berasal dari bahasa kata
Yunani kuno, yaitu Onoma yang artinya
‘ nama’ dan anti yang artinya ‘
melawan’. Maka secara harfiah antonomi berarti nama lain untuk benda lain
pula.
Contoh:
Bagus > <
buruk
Besar
> < kecil
3.
Homonimi
Secara semantik Verhaar
(1978:94) menyatakan homonimi ialah sebagai ungkapan berupa kata, frase atau
kalimat yang bentuknya sama dengan ungkapan lain tetapi maknanya tidak sama.
Contoh :
Bisa,
dapat berarti sanggup, dapat dan bisa
juga dapat berarti racun ular.
4.
Polisemi
Polisemi lazim diartikan
sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna
lebih dari satu.
Contoh :
Kepala, kepala memiliki
makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas, seperti yang terdapat pada manusia
dan hewan, (2) bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala paku, dan
kepala jarum, (3) pemimpin atau ketua seperti kepala sekolah, kepala kantor dan lain-lain.
5.
Hiponimi
Secara
semantik Verhaar (1978 :137) mengatakan hiponim ialah ungkapan (biasanya berupa
kata, frase, klausa atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari
makna suatu ungkapan lain.
Contoh :
Kata Bemo dan
kendaraan.
Kata Bemo berhiponim terhadap kata kenderaan.
6.
Redundansi
Istilah redundansi sering diartikan
sebagai berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran.
Contoh:
a.
Nasi
dimakan kucing
b.
Nasi
dimakan oleh kucing
Makna dalam kalimat (a)
tidak akan berubah meskipun pada kalimat ( b) ditambah pemakaian kata oleh. Tetapi kalimat (b) dianggap sebagai
sesuatu yang redundansi (yang berlebih-lebihan) yang sebenarnya kata oleh itu tidak perlu dipakai.
D. Perubahan
Makna
1)
Pelancar
Perubahan Makna
Bahasa itu relatif berubah. Perubahan bahasa dapat terjadi
dalam dua lapisan, baik lapisan bentuk maupun lapisan makna. Perubahan bentuk
bahasa akan mengakibatkan perubahan maknanya. Ada enam faktor yang memperlancar
perubahan makna yaitu :
a.
Bahasa itu berkembang.
b.
Bahasa bersifat samar.
c.
Bahasa bersifat taksa.
d.
Bahasa kehilangan motivasi.
e.
Bahasa memiliki struktur leksikal.
f.
Bahasa bermakna ganda.
2)
Penyebab
Perubahan Makna
Makna kata dalam sebuah
bahasa sering mengalami perubahan (Sudaryat 2008:49). Perubahan itu dapat
terjadi karena berbagai faktor, yaitu sebagai berikut:
a.
Faktor linguistik.
b.
Faktor historis.
c.
Faktor sosiologis.
d.
Faktor psikologis.
e.
Faktor bahasa asing.
f.
Faktor kebutuhan leksem baru.
Mengapa makna kata itu
berubah, sebab perubahan makna dan wujud perubahan makna itu bagaimana (Chaer,
2009:130-144).
1. Sebab-sebab perubahan makna kata
Adapun
sebab-sebab perubahan makna sebuah kata, yaitu:
a)
Perkembangan dalam ilmu dan teknologi
Perkembangan dalam bidang ilmu dan kemajuan dalam
bidang teknologi dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata.
Sebuah kata yang tadinya mengandung konsep makna mengenai sesuatu yang
sederhana, tetap digunakan walaupun konsep makna yang dikandung telah berubah
sebagai akibat dari pandangan baru, atau teori baru dalam suatu bidang ilmu
atau sebagai akibat dalam perkembanagan teknologi. Misalnya, kata berlayar yang pada awalnya bermakna
‘perjalanan di laut (di air) dengan menggunakan perahu atau kapal yang
digerakkan dengan tenaga layar’.
Walaupun kapal-kapal besar tidak lagi menggunakan layar, tetapi sudah
menggunakan tenaga mesin, tenaga nuklir, namun kata berlayar masih tetap digunakan.
b)
Perkembangan sosial dan budaya
Perkembangan dalam bidang sosial kemasyarakatan
dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna. Sama seperti yang terjadi sebagai
akibat perkembangan bidang-bidang ilmu, dan teknologi, sebuah kata yang pada
mulanya ‘a’ lalu berubah menjadi bermakna ‘b’ atau ‘c’ jadi, bentuk katanya
tetap sama tetapi konsep makna yang dikandungnya sudah berubah. Misalnya, kata saudara dalam bahasa Sanskerta bermakna
‘seperut atau satu kandungan’, tetapi kini kata saudara juga digunakan untuk
menyebut atau menyapa siapa saja yang dianggap sederajat atau berstatus sosial
yang sama.
c)
Perbedaan bidang pemakaian
Setiap bidang kehidupan
atau kegiatan memiliki kosakata tersendiri yang hanya dikenal dan digunakan
dengan makna tertentu dalam bidang yang bersangkutan. Kata-kata yang menjadi
kosa kata dalam bidang-bidang tertentu didalam kehidupan dan pemakaian
sehari-hari dapat terbantu dari bidangnya: dan digunakan dalam bidang lain atau
menjadi kosa kata umum. Oleh karena itu, kata-kata tersebut menjadi memiliki
makna baru atau makna lain di samping makna aslinya (makna yang berlaku dalam
bidangnya). Misalnya, kata menggarap yang berasal dari bidang
pertanian dengan segala macam derivasinya, seperti tampak dalam frase menggarap sawah, tanah garapan, dan petani penggarap, kini banyak juga digunakan dalam bidang-bidang
lain dengan makna ‘mengerjakan’ seperti tampak digunakan dlam frase menggarap skripsi, menggarap naskah drama, menggarap
generasi muda, dan menggarap usul para anggota.
d)
Adanya asosiasi
Agak berbeda dengan
perubahan makna yang terjadi sebagai akibat penggunaan dalam bidang yang lain,
di sini makna baru yang muncul adalah berkaitan dengan hal atau peristiwa lain
yang berkenaan dengan kata tersebut. Misalnya, kata amplop yang berasal dari bidang administrasi atau surat menyurat,
makna asalnya adalah ‘sampul surat’. Ke dalam amplop itu selain bisa dimasukkan surat, juga bisa dimasukkan benda
lain, misalnya uang. Oleh karena itu, dalam kalimat beri beri saja amplop maka urusan pasti beres kata amplop disitu bermakna ‘uang ‘ sebab amplop yang dimaksud bukan berisi surat atau tidak berisi apa-apa
melainkan berisi uang sebagai sogokan.
Asosiasi antara amplop
dengan uang ini adalah berkenaan
dengan wadah. Jadi, meneyebut wadahnya yaitu amplop tetapi yang dimaksud adalah isinya, yaitu uang.
e)
Pertukaran tanggapan indra
Alat indra sebenarnya
sudah mempunyai tugas-tugas tertentu untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi
di dunia ini. Misalnya rasa pahit, manis harus ditangkap oleh perasa lidah.
Dalam penggunaan bahasa terjadi kasus pertukaran tanggapan antara indra yang
satu dengan indra lain. Rasa pedas, misalnya, yang seharusnya ditanggap dengan
alat indra perasa pada lidah, tertukar menjadi ditanggap oleh alat indra
pendengaran seperti tampak dalam ujaran kata-katanya cukup pedas. Pertukaran alat indra
penanggap biasa disebut dengan istilah sinestesia.
Istilah ini berasal dari bahasa Yunani sun artinya ‘sama’ dan aisthetikas artinya
‘tampak’.
Contoh
1. suaranya
sedap didengar
2. warnanya
enak dipandang
Sedap
adalah urusan indra perasa tetapi dalam contoh di atas menjadi tanggapan indra
pendengaran, enak adalah juga urusan
indra perasa tetapi dalam contoh di atas menjadi taggapan indra penglihatan
yaitu, mata.
f)
Perbedaan tanggapan
Setiap unsur leksikal
atau kata yang sebenarnya secara sinkronis telah mempunyai makna leksikal yang
tetap. Namun, pandangan hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di dalam
masyarakat maka banyak kata yang menjadi memiliki rasa yang “rendah”, kurang
menyenangkan dan ada juga yang memiliki nilai rasa yang “tinggi”. Kata-kata
yang nilainya merosot menjadi rendah lazim disebut peyoratif, sedangkan yang
menilainya naik menjadi tinggi disebut amelioratif.
Contoh :
Kata bini dewasa ini dianggap peyoratif
sedangkan kata istri dianggap ameliortif, kata laki dianggap peyoratif berbeda dengan suami yang dianggap sebagai
amelioratif.
g)
Adanya penyingkatan
Dalam bahasa Indonesia
ada sejumlah kata atau ungkapan yang karena sering digunakan maka tanpa
diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan orang sudah mengerti maksudnya.
Oleh karena itu, kemudian orang lebih banyak menggunakan singkatan saja dari
pada menggunakan bentuk utuhnya.
Contoh
:
Kalau dikatakan ayahnya meninggal tentu maksudnya adalah meninggal dunia.
Jadi,
meninggal adalah bentuk singkat dari
ungkapan meningal dunia.
h)
Proses Gramatika;
Proses gramatikal
seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi (penggabungan kata) akan
menyebabkan terjadinya perubahan makna. Tetapi dalam hal ini yang terjadi sebenarnya
bukan perubahan makna , sebab bentuk kata itu sudah berubah sebagia hasil proses
gramatikal. Jika bentuknya berubah maka
makna pun akan berubah. Jadi, tidaklah dapat dikatakan kalau dalam hal ini
telah terjadi perubahan makna sebab yang terjadi adalah proses gramatikal, dan
proses gramatikal itu telah ‘melahirkan makna-makna gramatikal’.
Contoh :
i)
Pengembangan istilah
Salah satu upaya dalam
pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan memanfaatkan kosakata
bahasa Indonesia yang ada dengan memberi makna baru, dengan cara menyempitkan
makna kata tersebut , meluaskan maupun memberi arti baru. misalnya kata papan yang semula bermakna ‘ lempengan
kayu ( besi dan sebagainya) tipis, kini diangkat menjadi istilah untuk makna
‘perumahan’ ; kata sandang yang semula bermakna ‘selendang’ kini
diangkat menjadi istilah pakaian’.
2. Jenis Perubahan
Selain dari sebab-sebab
terjadinya perubahan makna, maka ada pula jenis-jenis perubahan makna, yaitu
sebagai berikut:
a) Meluas
Perubahan makna meluas adalah
gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya
memiliki sebuah makna, tetapi
kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain. Contohnya:
kata saudara yang sudah disinggung di
depan, pada mulanya hanya bermakna ‘seperut’
atau ‘sekandungan’. Kemudian,
maknanya bisa berkembang menjadi ‘siapa saja yang sepertalian darah’ akibatnya,
anak paman pun disebut saudara.
b) Menyempit
Menyempit yang dimaksud
di sini adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai
makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah
makna saja. Contohnya: pada kata sarjana
yang pada mulanya berarti ‘orang pandai’ atau ‘cendikiawan’, kemudian hanya berarti’ orang yang lulus dari
perguruan tinggi’, seperti tampak pada sarjana
sastra, sarjana ekonomi, dan sarjana hukum. Betapapun pandainya seseorang
mungkin sebagai hasil belajar sendiri, kalau bukan tamatan suatu perguruan
tinggi, tidak bisa disebut sarjana.
Sebaliknya, betapa pun rendahnya indeks prestasi seseorang kalau dia sudah
lulus dari perguruan tinggi, dia kan disebut sarjana.
c) Perubahan
total
Dimaksud dengan
perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dan makna
asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada Contohnya: kata ceramah pada mulanya berarti ‘cerewet’
atau ‘banyak cakap’ tetapi kini berarti pidato atau uraian mengenai suatu hal
yang disampaikan disepan orang banyak.
d) Penghalusan
(eufemia)
Pembicaraan mengenai
penghalusan mengenai penghalusan ini kita berhadapan dengan gejala yang
ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang
lebih halus,atau lebih sopan dari pada yang akan digantikan. Kecenderungan
untuk menghaluskan makna kata tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat
bahasa Indonesia. misalnya: kata penjara atau
bui diganti dengan kata/ ungkapan yang maknanya
dianggap lebih halus yaitu lembaga
pemasyarakatan; di penjara atau dibui
diganti menjadi dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan.
Kata korupsi diganti dengan menyalahgunakan jabatan. Kata pemecatan (dari pekerjaan) diganti
dengan pemutusan hubungan kerja (PHK).
e) Pengasaran
Kebalikan dari
penghalusan adalah pengasaran (disfemia),
yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan
kata yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan
orang dalam situasi yang tidak ramah atau menunjukkan kejengkelan. Misalnya
kata menjebloskan yang dipakai untuk
menggantikan kata memasukkan, seperti
dalam kalimat polisi menjebloskannya ke
dalam sel. Begitu juga dengan kata mendepak yang menggantikan kata mengeluarkan.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Makna
yaitu arti, maksud dan pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk
kebahasaan. Maka dapat disimpulkan bahwa makna merupakan suatu arti atau maksud
terhadap sesuatu yang akan dimaknai dalam pemakaian makna. Jenis-jenis makna
terbagi menjadi dua bagian yaitu, makna leksikal dan makna gramatikal.
Hubungan atau relasi kemaknaan menyangkut hal kesamaan makna
( sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi dan
ambiguitas), ketercakupan makna ( hiponimi), kelainann makna (hononimi),
kelebihan makna ( redundasi).
DAFTAR
PUSTAKA
Sudaryat,yayat. 2008. Makna dalam Wacana. Bandung: Yrama Widia
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar