SEMANTIK
Peran Konteks dalam Wacana
Makalah
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Harian
Oleh :
1. Ferlianus T.
2. Inri Sitohang
3. Lisna B. M
4. Suri Rahayu
5. Yana Anisah
DIK EKSTENSI B 2011
KELOMPOK 9
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
M E D A N
2 0 1 2
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaikum Wr. Wb
Syukur
alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Peran Konteks dalam Wacana”
dalam rangka memenuhi tugas di semester III Jurusan Pendidikan Bahasa
Indonesia pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan (UNIMED). Tak
lupa juga teriring shalawat dan salam bagi junjungan kita Nabi Besar Muhammad
SAW.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dalam hal isi
maupun dalam pemakaian kata. Untuk itu penulis mengharapkan masukan demi
kesempurnaan makalah ini.
Dalam
kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dan mendukung penulisan makalah ini, antara lain :
1.
Secara khusus dan teristimewa diiringi kasih sayang
penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kedua orang tua kami yang
telah banyak memberikan dukungan moril dan materil hingga selesainya tugas ini.
2.
Ibu dosen mata kuliah Semantik Universitas Negeri
Medan.
3.
Untuk sahabat-sahabat kami stambuk 2011 Ekstensi B.
4.
Untuk senior kami di Universitas Negeri Medan,
khususnya Harry Syahputra Gultom dan Saddam Husein Chaniago yang turut membantu
dalam menyelesaikan tugas kami ini.
Akhir
kata penulis berdo’a semoga Allah SWT membalas budi baik mereka, Amin.
Wabillahi Taufiq Wal Hidayah, Wassalammu’alaikum
Wr. Wb.
Medan, November 2012
Penulis,
Kelompok IX
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.............................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................. 1
A.
Latar Belakang Masalah................................... 1
B.
Batasan Masalah............................................... 1
C.
Rumusan Masalah............................................ 1
D.
Tujuan Penelitian.............................................. 2
E.
Manfaat Penelitian............................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................... 3
A.
Peranan Konteks............................................... 3
B.
Ciri-Ciri Konteks.............................................. 3
C.
Hakikat Konteks............................................... 9
D.
Jenis Konteks.................................................... 10
BAB III... PENUTUP.............................................................. 15
A.
Kesimpulan....................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................. 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Semantik merupakan cabang ilmu
linguistik yang mempelajari tentang makna kata. Sedangkan wacana merupakan kumpulan
gramatik terbesar atau tertinggi yang dilengkapi oleh sebuah ide pokok serta beberapa
gagasan penunjang yang berkesinambungan terhadap sebuah karangan yang merupakan
bagian dari linguistik.
Hubungan semantik dengan
wacana. Hubungannya yaitu apabila di dalam teks
wacana ada satu teks yang hilang maka makna teks tersebut maknanya akan berbeda.
Berdasarkan penjelasan di atas, kami dapat mengambil
kesimpulan bahwa hubungan semantik dengan ilmu lainnya itu berkaitan dengan makna
yang ingin disampaikan kepada seorang pengguna bahasa.
Dalam sebuah wacana terdapat
konteks yang harus kita semua ketahui. Maka, penulis akan memulai membahas tentang
apa dan bagaimana konteks di dalam sebuah wacana yang harus kita semua ketahui.
B.
Batasan Masalah
Mengingat
ruang lingkup permasalahan yang bisa meluas cakupan pembahasannya dan untuk mempermudah
penelitian serta penulisan agar lebih terarah, mengingat keterbatasan waktu dan
kemampuan yang dimiliki penulis maka penulis membatasi fokus permasalahan Peran
Konteks dalam Wacana.
C.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
identifikasi masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini
yaitu: Bagaimanakah peran konteks dalam wacana?
D.
Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah untuk menambah pemahaman tentang peran konteks dalam wacana
serta untuk melengkapi tugas harian dari dosen mata kuliah Semantik di kelas Ekstensi B 2011.
E.
Manfaat Penilitian
Manfaat
dari penelitian ini adalah :
- Bagi penulis, hasil dari penelitian ini bermanfaat untuk
mengembangkan pengetahuan tentang filsafat dan ilmu.
- Bagi perkuliahan/sekolah, hasil penelitian ini berguna
sebagai input berupa informasi, yang diharapkan pula
akan memudahkan dalam pembelajaran.
- Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai acuan dan pembanding bagi peneliti selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peranan Konteks
Sejak permulaan tahun 1970, para pakar bahasa
menyadari akan pentingnya konteks untuk menginterpretasi ujaran atau pun
kalimat; sehingga pendekatan seorang analis wacana pada data jauh berbeda dari
ahli informasi bahasa formal. Seorang analis wacana mempelajari bahasa dalam
konteks minatnya lebih tertuju pada saat tertentu dari pada hubungan potensial
antara satu kalimat dengan yang lain tanpa memperhatikan penggunaannya. Seorang
analis wacana berusaha menjelaskan apa yang dikerjakan oleh pembicara dan
pendengar; sehingga dikatakan oleh Brown dan Yule (1984) bahwa seorang analis
wacana mempelajari bahasa dengan pendekatan pragmatis (a pragmatic approach to the
study of language) ini.
Telah dinyatakan sebelumnya bahwa peranan konteks sangat penting dalam
analisis wacana. Kedua contoh berikut ini memperjelas peranan konteks dalam
penggunaan bahasa. Kata "pintar" mengandung makna yang berbeda bahkan
bertolak belakang pada kedua contoh di bawah ini.
- Penutur seorang bapak, pendengarnya istrinya.
Tempat di rumah mereka. Pada suatu sore hari, mereka mendengarkan anak
mereka yang masih berumur dua setengah tahun menyanyikan lagu Balonku
Ada Lima dengan lancar. Bapak tersebut berkata : "Pintar ya
dia".
- Penutur seorang ibu. Pendengarnya suaminya. Si
ibu menyuruh anaknya perempuannya memanaskan masakan untuk makan malam. Si
anak lupa mematikan kompor, sehingga makanannya jadi hangus. Ibu tadi lalu
berkata: "Pintar dia ya".
B.
Ciri –Ciri Konteks
Dell Hymes merinci unsur-unsur konteks sebagai
berikut:
1. Penyampaian, yaitu penutur atau penulis yang menghasilkan ujaran
atau tulisan, penerima, yaitu pendengar atau
pembaca yang menerima pesan dalam ujaran atau tulisan.
2. Unsur topik, yaitu
apa yang dibicarakan oleh penyampai dan penerima. Pengetahuan analis tentang
topik sangat membantu analisisnya.
3. Unsur konteks berikutnya adalah setting yang meliputi waktu, tempat, dan peristiwa.
4. Unsur lainnya adalah saluran yaitu
bagaimana komunikasi antara penyampai dan penerima dilakukan, apakah melalui
tulisan atau lisan.
5. Unsur kode adalah bahasa atau
dialek mana yang dipakai dalam interaksi.
6. Unsur hasil akhir dari komunikasi. Secara singkat
dapat dinyatakan bahwa unsur-unsur tersebut akan memudahkan seorang analis
wacana dalam memperkirakan bentuk isi suatu wacana.
Konteks
wacana adalah aspek-aspek internal wacana dan segala sesuatu yang secara
eksternal melingkupi sebuah wacana.
Berdasarkan
pengertian tersebut maka
konteks wacana secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Konteks
bahasa adalah disebut ko-teks. Di sini, konteks bahasa atau ko-teks
itulah yang disebut dengan istilah “konteks internal wacana” atau disingkat
“konteks internal”.
2. Konteks
luar bahasa disebut
dengan konteks situasi dan konteks budaya atau konteks saja (Malinowski dalam
Sumarlam, 2003:47). Sedangkan segala
sesuatu yang melingkupi wacana, baik konteks situasi maupun konteks budaya itu
disebut dengan nama “konteks eksternal wacana” atau disingkat “konteks
eksternal”.
Humpty
Dumpty mengatakan, “Jika saya menggunakan kata, itu berarti bahwa apa yang saya
pilih adalah maknanya tidak lebih dan tidak kurang”. Beberapa linguis
menggarisbawahi pentingnya konteks dan menghapuskan keyakinan bahwa ada “makna
tersendiri” yang melekat dalam tiap kata, menjurus ke arah yang sama dengan
kata-kata H.Dumpty yang dogmatis tersebut. Penyataan seperti “kata itu ada
hanya melalui konteks dan tak ada apa pun di dalam kata itu”, sebagaimana yang
diucapkan orang, tidak akurat dan tidak realistis. Memang amat benar, dan
bahkan merupakan suatu truism, bahwa
kata-kata itu hampir selalu terdapat dalam konteks tertentu, tetapi ada juga
kenyataan bahwa ada kata yang sepenuhnya dapat berdiri sendiri, tanpa bantuan
suatu konteks dan masih tetap bermakna. Judul karangan yang menggunakan judul
kata tunggal seperti Resurrection karya
Tolstoy, Ghost karya Ibsen, Persuasion karya Jane Austen, atau Perburuan karya Pramudya, bisa syarat
dengan makna, dan bahkan judul yang eliptis seperti If karya Rudyat Kipling dan Nothing
karya Henry Green itu juga menyembunyikan sesuatu gagasan.
Dalam
percakapan sehari-hari kita sering mendengar pertanyaan, apakah makna kata ini
atau itu?, atau “Apa bahasa Indonesianya kata ini?” pertanyaan ini menyarankan
adanya makna tertentu dalam kata. Lagi, orang
yang tahu sedikit bahasa Inggris pasti bisa
mencari padanan kata-kata seperti yellow, run,
pencil dalam
bahasa Indonesia tanpa menggunakan konteks.
Jika benar bahwa kata-kata itu tidak mempunyai makna di luar konteks maka
dengan sedirinya orang tidak
rnungkin bisa menyusun kamus. Seorang ahli
semantik terkenal G.Stern, mengemukakan, “Kita tidak bisa lari dari
kenyataan bahwa sesuatu kata tentu mempunyai
makna tetap, bahwa kata-kata
itu benar mengacu kepada suatu acuan
tertentu, dan bukan kepada yang lain, dan
bahwa karakteristik
ini merupakan dasar kokoh semua komunikasi”.
Memang pernyataan ini rasanya
seperti ucapan seorang awam, tetapi
baru-baru ini kebenarannya sudah dibuktikan oleh beberapa
data eksperimen. Serangkaian tes
yang dirancang untuk mempelajari pengaruh konteks
terhadap makna menunjukkan bahwa biasanya pada sebuah
kata ada sebuah inti
makna yang secara relatif stabil
dan hanya dapat dimodifikasikan oleh
konteks dalam batas-batas tertentu.
Sebaliknya, tidak
seorang pun dapat menolak
pentingnya konteks dalam penentuan makna kata. Sepanjang masalahnya
menyangkut konteks verbal (konteks berupa ujaran
atau bahasa), hal ini sudah diketahui
oleh beberapa pionir di bidang
semantik sebagai suatu hal yang fundamental.
Misalnya, Darmesteter berbicara tentang
berbagai unsur penyatu kalimat yang memodifikasikan makna setiap
kata. Begitu pula kutipan-kutipan
kalimat dalam perkamusan (leksikografi) diakui sebagai
dasar tuntutan oleh penyusun
kamus seperti Dr. Johnson, yang menyusun Oxford
English Dictionary, dan juga para
penyuntingnya yang kemudian menggantikannya. Tetapi, para
linguis modern
ternyata tidak hanya menempatkan
tekanan yang besar terhadap konteks
itu, melainkan sudah memperluas sekali
ruang lingkupnya dan mempersoalkan lebih
dalam lagi ke arah pengaruh konteks terhadap
makna kata.
Rentangan istilah
“konteks” sudah diperluas dalam berbagai teori
bahkan konteks verbal itu tidak
lagi terbatas pada apa yang mendahului
dan mengikuti sesuatu
kata saja, melainkan dapat
meliputi keseluruhan wacana, dan kadang-
kadang sebuah buku, di mana kata itu
berada. Kecenderungan ini terutama dapat
dicatat pada kritik-kritik stilistika,
yang mengatakan bahwa pengertian lengkap
sesuatu istilah yang penting
hanya dapat diraba dengan melihat
sesuatu karya secara
keseluruhan. Ketika orang memulai
membaca novel La Peste karya
Camus, kata peste ‘pes’, mula-mula
tampak mengacu kepada penyakit yang
membinasakan kota Oran pada
tahun 1940-an. Begitu orang
itu terus membaca, dia secara perlahan-lahan
menyadari bahwa istilah itu
juga mempunyai beberapa
lapis makna simbolik yang
terpendam: kata itu rnerupakan suatu
alegori tentang pendudukan Jerman atas Prancis,
dan dalam arti luas, tentang
setan dengan semua segi metafisika dan
moralnya, dan implikasi-implikasi ini
terus bisa diperluas dan diperdalam
sampai kalimat terakhir dalam buku
itu.
Di samping konteks
verbal itu, linguis juga harus menaruh perhatian
kepada apa yang disebut
konteks situasi. Konteks
ini diperkenalkan ke dalam linguistik oleh seorang
antropolog Bronislaw Malinowski berdasarkan pengalaman
lapangannya tentang bahasa
dan kebudayaan
penduduk Trobriand Island di
Fasifik selatan. Konteks
situasi itu tidak hanya berarti
situasi yang sebenarnya tempat ujaran terjadi, tetapi
juga rnenyangkut keseluruhan latar belakang
budaya di mana peristiwa tutur itu muncul. Menurut Malinowski, “konsep tentang
konteks itu harus menembus ikatan-ikatan yang hanya bersifat kebahasaan dan
harus diteruskan kepada analisis terhadap kondisi-kondisi umum yang memayungi
ketika hahasa itu dituturkan. Studi tentang sesuatu bahasa, yang dipakai oleh
orang yang hidup berbeda kondisinya dilakukan dalam hubungan dengan studi
tentang kebudayaan dan lingkungan mereka”.
Prinsip
ini sangat penting sekali bagi semantik historis. Makna sepenuhnya dan
selengkapnya dari sebuah kata dapat ditangkap kembali hanya jika kita tempatkan
kata itu dalam konteks budaya pada zaman kata itu hidup. Misalnya, kata Latin rex ‘raja’ tidaklah persis sama maknanya
dengan king ‘raja’ dalam bahasa
Inggris atau roi ‘raja’ dalam bahasa
Prancis, karena rex itu, yang mengacu
bentuk monarki pada awal sejarah Romawi, mempunyai konotasi mengerikan dan
menjadi lambang tirani: “setelah pengusiran Tarquinius orang Romawi segan
mendengar kata ‘raja’ itu, tulis Cicero dalam De Republica. Konteks budaya itu bahkan lebih relevan untuk
memahami sepenuhnya apa yang disebut “kata kunci” (key-word) yang mengikhtisarkan cita-cita suatu peradaban tertentu:
misalnya kata cortegiano dari zaman
Renaissans Italia, honnete homme dari
zaman Prancis abad ke-17, dan kata Inggris gentelman
(semua itu kira-kira berarti seorang laki-laki yang memang seharusnya
begitu, ‘yaitu jantan’). Kata gentelman kemudian hidup terbesar dalam
bahasa Eropa daratan, tetapi ada sedikit perubahan tekanan dan perubahan dalam
implikasi nuansa.
Perluasan
cakupan konteks ini, baik kebahasaan maupun nonkebahasaan, telah membuka
cakrawala baru bagi studi makna. Apa yang menjadi tujuan kita ialah “urutan
kontekstualisasi atas fakta-fakta, konteks dalam konteks, masing-masingnya
menjadi sebuah fungsi, suatu organ dalam konteks yang lebih besar dan semua
konteks itu menyatu dalam wujud yang bisa disebut konteks budaya” (R, Firth,
1957: 32 dalam Sumarsono 2011).
Semantik
modern juga mulai memerhatikan lebih cermat terhadap dampak konteks atas makna.
Kini cukuplah dikatakan secara singkat beberapa bentuk utama dari dampak itu.
Secara umum dapat dikatakan ada dua jenis pengaruh konteks terhadap terhadap
kata, yaitu yang berpengaruh terhadap kata apa saja, dan yang lebih besar
berpengaruhnya terhadap beberapa kata daripada kata yang lain. Tiap kata, tidak
peduli betapa tepat dan pasti maknanya, akan menurunkan dari konteksnya suatu
kepastian (makna) yang pada hakikatnya hanya dapat muncul dalam ujaran-ujaran
yang spesifik. Ini pun berlaku bagi nama diri (proper name), jenis kata yang paling konkret di antara semua jenis
kata yang ada. Nama diri itu mempunyai berbagai aspek, tetapi hanya satu aspek
saja yang paling relevan untuk sesuatu situasi tertentu. Misalnya, jika kita
berbicara tentang Soekarno, hanya
konteksnya lah yang akan menunjukkan apakah kita sedang berbicara tentang
presiden pertama RI atau tentang bekas Kepala Kepolisian RI tahun 1960-an, atau
tentang Sukarno-Sukarno yang lain. Faktor lain yang sangat bergantung kepada
konteks adalah segi emotif makna kata. Pendeknya, tiap kata praktis dapat
memperoleh unsur emotif dalam suatu konteks; sebaliknya, ada kata-kata yang
mempunyai visi emosional yang kuat, kadang-kadang malahan diperlakukan
biasa-biasa saja. Misalnya, dalam bahasa Inggris, kata home dianggap sebagai salah satu kata yang mempunyai nilai emotif
tinggi, dipakai dalam banyak konteks, seperti “home sweet home”, “England home and beauty,” dst.; tetapi nilai
emosi itu benar-benar dipreteli dalam konteks seperti Home Office, BBC Home Service.
Di
samping pengaruh umum ini, konteks itu dapat juga memegang peranan vital dalam
memastikan makna kata yang samar atau kabur jika berdiri sendiri. Contoh yang
jelas dalam hal ini adalah kata do
dalam bahasa Inggris, yang begitu banyak mempunyai variasi penggunaan sehingga
jika berdiri sendiri menjadi kabur. Tetapi kita kadang-kadang juga bisa melihat
adanya kata yang mempunyai berbagai jenjang makna, yang sangat bebas dari
konteks. Misalnya, baru-baru ini ada eksperimen yang menunjukkan bahwa orang Jerman
jika diminta untuk membuat kalimat dengan kata Negel secara otomatis dia akan menggunakan kata itu dengan makna
‘paku logam’, padahal kata itu juga mempunyai makna ‘kuku tangan, kuku kaki’.
Jenis
kekaburan atau keambiguan lain yang kepastian maknanya hanya bisa ditentukan
oleh konteks adalah kata-kata yang mempunyai berbagai kemungkinan untuk masuk
ke berbagai jenis kata. Hal ini khususnya banyak terjadi pada bahasa Inggris,
di mana banyak kata yang bisa berpindah dari satu jenis kata ke jenis kata yang
lain melalui proses yang disebut konversi. Seperti yang pernah kita bicarakan
di muka, kata down misalnya, bisa
masuk ke dalam setidaknya lima jenis kata. Kata-kata berikut ini mempunyai
hirarki atau jenjang fungsi: fire
‘api’ mempunyai fungsi utama nomina, tetapi bisa juga dipakai sebagai verba; have terutama adalah verba, tetapi bisa
menjadi nomina dalam bentukan seperti the
haves and the have-nots ‘si kaya dan si miskin’. Konversi itu juga dapat
menjadi perabot gaya, seperti dalam “it out-herods Herod” yang diciptakan
Shakespare, “but me not buts” ciptaan Walter Scott.
Peranan
konteks itu menjadi makin esensial dalam hal homonim. Dalam bahasa Inggris,
misalnya, kata sole sulit dicari
padanannya dalam bahasa lain, karena sebenarnya ada tiga kata sole yang masing-masing mempunyai arti:
adjektiva, ikan, dan sol sepatu. Ini tidak termasuk kata soul ‘jiwa’ yang dilafalkan sama dengan sole meskipun tulisannya berbeda.
Jadi
jelaslah, pengaruh konteks itu sangat beragam: pengaruh itu berbeda dari kata
yang satu ke kata yang lain, dan berbeda dari bahasa yang satu ke bahasa yang
lain. Ungkapan-ungkapan yang penuh dengan homonim misalnya akan sangat
bergantung kepada konteks supaya menjadi jelas mana yang dimaksud. Makin
banyaknya konversi (beralihnya kata dari satu jenis kata ke jenis kata yang
lain) akan menambah pentingnya konteks. Sejumlah faktor yang ikut menentukan
peranan konteks akan makin bertambah jika kita mulai berbicara tentang
keistimewaan atau keganjilan makna suatu kata. Namun, sebelum kita sampai ke
sana, kita perlu lebih dulu melihat lebih dekat puncak dari semua teori
semantik, yaitu hakikat makna itu sendiri.
C. Hakikat Konteks
Sesuai dengan
namanya konteks berarti yang berkenaan dengan teks, yakni benda-benda atau
hal-hal beserta canda bersama teks dan menjadi lingkungan itu. Menurut Brown
dan Yule (1983), konteks adalah lingkungan (envirenment) atau keadaan (circumstances) tempat bahasa digunakan.
Dapat pula dikatakan bahwa konteks adalah lingkungan teks. Di samping istilah konteks dalam khasanah istilah linguistik Indonesia juga digunakan istilah lingkungan,
lingkupan yang sama mempunyai makna yang berbeda karena konteks yang berbeda.
Dardjowijojo
(1985) menyebutkan bahwa ada dua lingkungan atau konteks dalam penggunaan
bahasa, yakni konteks linguistik dan konteks ekstra linguistik. Dalam wujudan
yang berupa konteks linguistik (berupa unsur bahasa) konteks adalah satuan
bahasa (kata, frasa, kalimat atau untaian kalimat) yang mendahului atau yang
mengikuti unsur bahasa dalam ujaran. Konteks linguistik tersebut juga
diistilahkan dengan konteks, yakni bagian teks yang menjadi lingkungan sebuah
teks dalam teks yang sama makna pronomina posesif.
D. Jenis Konteks
Secara garis besar
konteks dapat dipilih menjadi dua kategori , yakni konteks linguistik dan
konteks ekstralinguistik.
1.
KONTEKS LINGUISTIK
Konteks linguistik
merupakan konteks wacana atau lingkungan wacana yang berupa unsur bahasa yang
mencakup :
1. Penyebutan depan
Penyebutan depan
adalah lingkungan linguistik yang berupa bagian wacana yang disebut terdahulu <perior-mention> sebelum bagian
teks yang lain. Dari penyebutan itulah status sebuah acuan <suatu yang
dimaksudkan> dapat terwujud dan dapat dikenali.
2. Sifat kata kerja.
Kata kerja
digolongkan menjadi dua macam, yaitu generik dan tak
generik. Kata kerja generik adalah kata kerja yang penggeraknya tidak dapat
menjadi informasi lama, yakni informasi yang tidak dapat disebut kembali dengan
pemerkah definisi ini dan itu. Sedangkan kata kerja tak generik
yakni benda yang mengikutinya dapat diikuti objek
dan objeknya dapat disebut kembali dengan pemerkah definisi ini dan itu.
3. Kata kerja konteks.
Kata kerja konteks
adalah kata kerja yang ditambahkan pada kata kerja utama. Ada kata bantu ......
<yang menunjukan sikap batin : harus,
pasti, mungkin, ingin, suka, mau dan sebagainya> sedangkan kata
kerja bantu aspek <yang menunjukan keberlangsungan kerja, sudah, akan, belum, baru dan sebagainya>.
4. Proposisi positif.
Secara sederhana
proposisi dapat diartikan sebagai pertanyaan secara teknis dapat diartikan
sebagai konfigurasi makna yang terjadi dari hubungan antara unsur subjek dan predikat serta unsur-unsur yang lain dalam klausa atau kalimat
atau apa yang dikemukakan oleh penutur/penulis, atau tentang apa yang terungkap
dalam sebuah teks wacana.
2.
KONTEKS EKSTRALINGUISTIK
Jenis konteks ekstra linguistik yaitu :
1. Pranggapan
Pranggapan adalah
ungkapan yang sudah ada yang menjadi syarat bagi benar salah satunya suatu
kalimat. Pranggapan itu merupakan (pengetahuan)
landasan bersama (camman ground) bagi
pengguna bahasa. Stalnaker (Brown dan Yule 1983) menyatakan bahwa
pranggapan adalah apa yang dimiliki untuk dijadikan landasan bersama
partisipasi dalam komunikasi verbal.
2. Partisipasi
Partisipasi adalah
orang yang berpartisipasi dalam peristiwa itu. Semua pelaku yang partisipasi
pada peristiwa itu disebut partisipan.
3. Topik dan kerangka topik
Topik adalah pokok
isi sebuah wacana. Topik dalam sebuah wacana dapat dikenali dengan pertanyaan,
tentang apa yang dikemukakan oleh penutur/penulis, atau tentang apa yang
terungkap dalam sebuah teks wacana. Topik merupakan pengikat satuan-satuan teks
pembentuk wacana. Kalimat dalam teks juga harus berisi informasi yang relevan
dengan topik.
Dengan menggunakan
topik tertentu suatu interaksi dapat berjalan dengan lancar. Namun, dalam kehidupan sehari-hari apa yang disebut dengan topik sangat kompleks
sehingga para ahli wacana menamakannya dengan kerangka topik.
Kerangka topik
adalah topik besar atau topik atasan yang meliputi sejumlah topik bawahan.
Jadi, istilah topik dan kerangka topik diberlakukan manakala dalam teks
terdapat topik atasan dan topik bawahan.
4. Latar
Latar (seting)
adalah konteks kewacanaan yang berupa tempat, waktu dan peristiwa. Konteks
tersebut sangat berpengaruh dalam penggunaan satuan unsur wacana. Sebuah
peristiwa berpengaruh dalam penggunaan tuturan dalam wacana. Dalam peristiwa
kecelakaan biasanya akan muncul kalimat-kalimat :
Apakah ada yang
meninggal?
Siapa yang
bersalah?
Bagian yang
ditanyakan juga bermacam-macam, bergantung pada perhatian penutur.
5. Saluran komunikasi
Lisan dan tulis
itu merupakan saluran bahasa. Di samping itu bahasa juga
digunakan secara langsung (tanpa sarana/alat) atau juga secara tidak langsung(dengan
sarana/alat) dalam bahasa tulis, unsur isi diungkapkan lebih lengkap daripada
bahasa lisan.
6. Kode
Istilah kode
digunakan dalam model ini dengan pengertian bahasa atau dialek beserta
ragam-ragamnya : ragam baku, ragam resmi, ragam akrab, dan ragam intim.
Anda tentu
bersikap dengan kesungguhan ketika anda mengikuti acara doa dituturkan dengan
ragam resmi, bahkan ada yang menggunakan ragam baku bahkan ragam yang tidak
dapat diubah. Anda sebagai peserta doa, lebih sering diharapkan pada satu pilihan
sahutan saja, yaitu “aamiin”, dan tidak boleh dengan kata lain
yang bersinonim setuju.
3.
PENGGUNAAN KONTEKS DALAM ANALISIS WACANA.
Satuan bahasa yang dianalisis dalam analisis wacana adalah satuan bahasa yang terdapat
dalam konteks. Satuan terkecil dalam wacana adalah kalimat atau unsur kalimat.
Sasaran analisis wacana bukanlah struktur kalimat tetapi status nilai
fungsional kalimat dan konteksnya. Berdasarkan uraian tersebut analisis wacana
selalu memanfaatkan konteks, baik itu konteks linguistik maupun konteks
ekstralinguistik.
Analisis wacana
memiliki banyak sasaran, bergantung pada tujuan yang menjadi target analisis
itu. Pada uraian berikut akan mempelajari penggunaan konteks dalam analisis
wacana untuk mengenali struktur wacana, maka referensi dan inferensi dalam
wacana, unsur-unsur serta keterkaitannya dengan wacana yang terbatas pada :
1. Pengunaan konteks untuk
mencari acuan
Konteks dapat
digunakan untuk menentukan acuan. Acuan adalah hal atau benda yang disebut,
dirujuk atau yang dimaksudkan dalam wacana. Acuan dapat terbentuk berdasarkan
konteks wacana.
Salah satu acuan
yang dicari dalam teks adalah acuan sebuah kata deiksis.
Kata deiksis adalah kata yang acuannya dapat berpindah-pindah atau berganti-ganti. Acuan itu bergantung pada konteks tempat beradanya acuan itu.
2. Penggunaan konteks untuk
menentukan maksud tuturan
Hubungan tuturan
dan maksud penutur dapat dipilah menjadi dua kategori yaitu : hubungan langsung
dan tidak langsung. Hubungan langsung adalah hubungan yang terungkap secara
eksplisit. Hubungan tidak langsung adalah hubungan yang dinyatakan secara implisit. Pemahaman terhadap maksud yang tidak
langsung itu memerlukan pemikiran bertahap, salah satu maksud yang dicari
berdasarkan konteks adalah makna acuan atau kepastian acuan.
3. Pengunaan konteks untuk
mencari bentuk tak terujar
Bentuk yang
memiliki unsur tak terujar itu sering disebut dengan bentuk eliptis. Bentuk tak
terujar itu hanya dapat ditentukan berdasarkan konteks. Bentuk eliptis banyak
ditemukan dalam wacana dialog. Bentuk eliptis itu bukanlah bentuk yang salah,
bahkan karena konteks bentuk eliptis itu merupakan bentuk yang cocok dengan
konteks.
Contoh :
1. Kemana saja anda tadi pagi?
2. Kerumah adik
1. Kemana saja anda tadi pagi?
2. Saya tadi pagi kerumah adik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seorang analis wacana mempelajari bahasa dalam konteks minatnya lebih
tertuju pada saat tertentu dari pada hubungan potensial antara satu kalimat
dengan yang lain tanpa memperhatikan penggunaannya. Seorang analis wacana
berusaha menjelaskan apa yang dikerjakan oleh pembicara dan pendengar; sehingga
dikatakan bahwa seorang analis wacana mempelajari bahasa dengan pendekatan
pragmatis (a pragmatic approach to the study of language) ini.
Konteks wacana adalah
aspek-aspek internal wacana dan segala sesuatu yang secara eksternal melingkupi
sebuah wacana.
Setiap wacana terdapat konteks di
dalamnya. Sebuah kata yang kita kemukakan memiliki konteks juga di dalamnya.
Adanya makna dari setiap kata membuat kata-kata itu memiliki konteks disetiap
pemakaiannya.
Tak seorang pun dapat
menolak pentingnya konteks dalam penentuan makna kata.
Sepanjang masalahnya menyangkut konteks verbal (konteks berupa
ujaran atau bahasa), hal
ini sudah
diketahui oleh beberapa pionir di bidang
semantik sebagai suatu hal yang fundamental.
DAFTAR
PUSTAKA
Brown, G.
& Yule, G. 1984. Discourse Analysis.
Cambridge: Cambridge University
Dardjowidjojo,
Soenjono (Ed.). 1985. Perkembangan Linguistik
di Indonesia. Jakarta. Arcan
Sumarlam, dkk. (2003).
Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta:
Pustaka Cakra
Sumarsono. 2011. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sumarsono. 2011. Pengantar Semantik. Singaraja: Pustaka
Pelajar