Senin, 03 Desember 2012

HUBUNGAN SEMANTIK, LOGIKA DAN TATA BAHASA

                                  HUBUNGAN SEMANTIK, LOGIKA DAN TATA BAHASA


DISUSUN OLEH
KELOMPOK 4

DIAN V SITOMPUL                                    2113111021
ENGELINA L.P MANULLANG               2113111025
EPRIANA YULIANTI PURBA                 2113111026
EVI ERNAWATI LUBIS                             2113111030
FANNY OCTAVIANI                                  2113111032
HOTDIANA TAMBUNAN                         2113111037
MUHAMMAD FACHRI PRATAMA       2113111049
RIA MUSTIKA                                           208311105

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2012


KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmad-Nya bagi penulis sehingga berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul ”Hubungan Semantik, Logika dan Tata Bahasa”. Tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah ”Semantik”
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah, Ibu Muharrina Harahap S.S, M.Hum yang telah memberikan bimbingan dan saran yang berharga dalam penyusunan makalah ini. Sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Terkhusus kepada penulis, pastinya mendapatkan pengetahuan yang baru.
Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, hal ini dari segi penyusunan maupun dari segi materi. Oleh karena itu dengan rasa rendah hati dan hormat penulis menerima setiap kritik dan saran yang bersifat membangun yang dapat memperbaiki dan menyempurnakan makalah ini.



Kelompok 4 Reguler B 2011




DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................................     i
Daftar Isi...........................................................................................................................     ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................     1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................................      1
1.3 Tujuan………………..…….........................................................................................     1
BAB II
HUBUNGAN SEMANTIK, LOGIKA DAN TATA BAHASA
2.1 Hubungan Semantik dengan Logika……....................................................................         2
2.2 Hubungan Semantik dengan Tata Bahasa…………...................................................          4
2.3 Hubungan Semantik, Logika dan Tata Bahasa……...................................................           5
2.3.1  Antara Bahasa dengan Pikiran…………………..……………………………         5
2.3.2  Bahasa Sebagai Struktur Formal Realitas…………………..………………...          7
2.3.3 Proposisi Kategorial dalam Logika Bahasa…………………………………….         8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................      10
3.2 Saran.............................................................................................................................     10
Daftar Pustaka...................................................................................................................     iii


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Semantik sebagai salah satu komponen bahasa, semakin diperhatikan orang karena objek studinya yaitu makna, dianggap sangat sukar ditelusuri dan dianalisis strukturnya. Makna sangat bersifat arbiter, berbeda dengan morfem atau kata sebagai sasaran dalam studi morfologi yang strukturnya tampak jelas dan dapat disegmen-segmenkan. Namun dewasa ini, keadaan itu sudah berbalik. Kini semantik dianggap sebagai komponen bahasa yang tidak dapat dilepaskan dan pembicaraan linguistik. Makna sebagai objek studi semantik ini memang sangat rumit persoalannya, bukan hanya menyangkut persoalan dalam bahasa-bahasa saja tetapi juga menyangkut persoalan luar bahasa.
            Dalam kehidupan manusia bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga menyertai proses berfikir manusia dalam usaha memahami dunia luar, baik secara objektif maupun imajinatif. Sebab itu, bahasa selain memiliki fungsi komunikatif, juga memiliki fungsi kognitif dan fungsi emotif. Dengan kata lain, bahasa selain memiliki fungsi instrumental, regulator, interaksional, personal, dan informatif, juga memiliki fungsi heuristik dan imajinatif.

1.2 Rumusan Masalah
      1.      Bagaimana hubungan semantik dengan logika ?
      2.      Bagaimana hubungan semantik dengan tata bahasa ?
      3.      Bagaimana hubungan semantik, logika dan tata bahasa ?

1.3  Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat lebih mengetahui hubungan antara semantik, logika dan tata bahasa serta diharapkan mahasiswa dapat berfikir kritis, sistematis dan logis.



BAB II
HUBUNGAN SEMANTIK DENGAN LOGIKA DAN TATA BAHASA

2.1 Hubungan Semantik dengan Logika
            Semantik adalah ilmu tentang  makna kata dan kalimat, pengetahuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata (KBBI, 2007: 1025). Sedangkan logika adalah pengetahuan tentang kaidah berpikir atau jalan pikiran yang masuk akal (KBBI, 2007: 680). Logika adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang penalaran yang berhubungan dengan pembuktian validitas suatu argumen. Logika menggunakan metode penalaran berdasarkan validitas suatu argumen. Logika memberikan suatu metode atau cara yang sistematis dalam berpikir (reasoning). Terdapat dua metode cara berpikir yang digunakan, yaitu logika proposisi (proposisional) dan predikat (predikatif). Dengan menggunakan logika diharapkan dapat mengurangi kesalahan tindakan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah, sehingga masalah tersebut dapat diselesaikan dengan suatu jawaban yang dikerjakan dengan sistematis. Dalam analisis bahasa semantik logika mengkaji sistem makna yang dilihat dari logika, mangacu kepada kata pengkajian makna atau penafsiran ajaran, terutama yang dibentuk dalam sistem logika yang disebut semantik.
            Penentuan sifat makna dalam batas-batas kondisi kebenaran sering diartikan sebagai menyamakan makna dengan bentuk logis dari suatu kalimat. Agar dapat melihat persamaan tersebut, maka harus dilakukan pertimbangan tentang apa yang biasanya disebutkan dengan istilah bentuk logis. Hal yang paling utama adalah kembali pada tujuan utama yaitu menyusun logika. (Wahab, 1996: 28)
Contoh: 
a   . Darwin seorang manusia atau Darwin tidak mati.
Darwin mati.
Karena itu Darwin seorang manusia.
b.      Darwin adalah seorang manusia dan semua manusia mati.
Karena itu Darwin mati.

Kebenaran wajib dari penjelasan diatas adalah:
Jika Darwin itu manusia dan semua manusia mati, maka Darwin mati.
Seorang linguis tidak memperhatikan sistem bahasa dari segi logika. Sedangkan seorang filsuf melihatnya dari segi logika (Pateda, 1989: 22). Bagian dalam penjelasan di atas ialah menyusun kembali bentuk argumen yang logis (pernyataan yang secara wajib benar). Kemudian, untuk menunjukkan kevaliditasan argumen pernyataan yang dipertanyakan harus sesuai dengan kaidah umum.
Struktur semantik serupa dengan struktur logika, berupa ikatan tidak berkala antara predikat (pre) dengan seperangkat argumen (arg) dalam suatu proposisi (pro). Strukturnya dapat dilihat melalui gambar berikut:
Proposisi








Predikat                       Argumen-1                  Argumen-2                  Argumen-n
            Argumen adalah segala sesuatu yang dibicarakan. Sedangkan, predikat menghubungkan atau menunjukkan hubungan semuanya. Misalnya kalimat “Nenek minum jus”. Strukturnya adalah :


Proposisi







Predikat                             Argumen-1                              Argumen-2
         Minum                                 Nenek                                      Jus
Jadi, kalimat tersebut memiliki predikat yang berargumen dua : minum (nenek, jus).
Dari contoh tersebut dapat dikatakan bahwa dalam menganalisi makna kalimat, teori generatif semantik berusaha mengabstraksikan predikatnya dan menentukan argumen-argumennya.

2.1 Hubungan Semantik dengan Tata Bahasa
            Ilmu bahasa terdiri atas empat tataran, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dari keempat cabang ilmu tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu tata bahasa (gramatika) atau struktur bahasa dan di luar gramatika atau di luar struktur bahasa. Cabang ilmu bahasa yang mencakup tata bahasa atau struktur bahasa (gramatika) adalah morfologi dan sintaksis. Morfologi adalah cabang dari linguistik yang mempelajari struktur intern kata, serta proses-proses pembentukaannya. Sedangkan sintaksis adalah studi mengenai hubungan kata dengan kata dalam membentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat. Satuan-satuan morfologi, yaitu morfem dan kata, maupun satuan sintaksis yaitu kata, frase, klausa, dan kalimat, jelas ada maknanya. (Chaer, 2002: 9). Oleh karena itu, pada tataran ini masalah-masalah semantik yaitu yang disebut semantik gramatikal, objek studinya adalah makna-makna gramatikal dari tataran tersebut.
            Semantik yang berhubungan dengan sintaksis disebut dengan semantik sintaktikal. Dalam semantik sintaksial objek yang menjadi studinya adalah fungsi gramatikal, kategori gramatikal, dan peran gramatikal.

Perhatikan bagan berikut ini :
S
P
O
K


        a)      Fungsi                        
                       

        b)      Kategori


        c)      Peran  

            

Fungsi gramatikal berupa subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K). Sedangkan kategorinya adalah nomina (kata benda), verba (kata kerja), dan adjektiva (kata sifat). Sedangkan pada bagian peran mencakup peran gramatikal seperti peran agentif (sebagai pelaku), pasien (sebagai penderita), objek (sebagai sasaran), benefaktif (sebagai kegitan/ melakukan pekerjaan terhadap orang lain), lokatif (sebagai tempat/ lokasi), instrumental (sebagai alat) dan sebagainya.

Contoh :
Kalimat
Si udin
menjaga
adiknya
di rumah sakit
Fungsi
subjek
predikat
objek
keterangan
Kategori
nomina
verba
nomina
nomina
Peran
agen
benefaktif
pasien
lokatif

 
2.3 Hubungan Semantik, Logika dan Tata Bahasa
            Semantik, logika dan tata bahasa memiliki keterkaitan yang sangat erat. Sebab, antara makna, logika (penalaran) dibutuhkan dalam proses tata bahasa (sintaksis dan morfologi). Untuk lebis jelasnya akan dipaparkan dalam beberapa poin sebagai berikut:

2.3.1  Antara Bahasa dengan Pikiran
            Informasi lewat bahasa, selain hanya menunjuk, pada struktur kebahasaan itu sendiri, juga mampu menunjuk pada sesuatu yang lain, yang mungkin saja kompleks. Pernyataan seperti Bogor, siang dan malam diguyur hujan, mengandung pengertian “Bogor siang dan malam diguyur hujan”. Akan tetapi, pernyataan seperti (1) Nilai kehidupan manusia ditentukan dirinya sendiri, (2) Kehidupan ini hanya permainan dan cobaan, maupun (3) Kehidupan abadi itu ada setelah kehidupan itu sendiri, ternyata tidak mampu menunjuk satu realitas objektif secara pasti. Pernyataan itu menunjukkan pada sesuatu yang lain yang dibentuk juga oleh bahasa itu sendiri. Dalam hal demikian, bahasa tidak lagi berkaitan dengan konsep objektif  tetapi berkaitan dengan  konsep mental.
Bagaimana hubungan antara bahasa dengan pikiran, sehingga menghadirkan konsep mental yang akhirnya membentuk mikrokosmos seseorang maupun pandangan hidup suatu masyarakat, telah menjadi bahan kajian sejak masa Aristoteles. Dalam teorinya Aristoteles mengungkapkan bahwa kata-kata sebagai alat ujaran dapat digunakan sebagai penanda sikap maupun kejiwaan. Meskipun tuturan setiap orang itu tidak sama, bentuk hubungan mental setiap orang dengan dunia luar lewat bahasa pada dasarnya sama.

            Pandangan di atas berbeda dengan pendapat yang terkandung di dalam teori relativitas bahasa. Realitas luar itu sepenuhnya bersifat objektif, tanggapan terhadapnya lewat bahasa senantiasa bersifat subjektif. Subjektivitas penanggapan itu ditentukan oleh pandangan, pengalaman, dorongan, keinginan, maupun suasana emosi penanggap. Sebab itu, meskipun dalam komunikasi setiap anggota masyarakat bahasa menggunakan bentuk kebahasaan secara objektif, bahasa yang digunakan untuk menanggapi, mengenal, dan memahami realitas lewat kesadaran batin tersebut senantiasa bersifat subjektif.
            Hasil signifikansi menjadi berbeda-beda karena meskipun kata ibu kota, misalnya, oleh masyarakat tutur bahasa Indonesia secara umum dapat diacukan pada “kota Jakarta”, tanggapan masing-masing individu secara relatif ditentukan oleh pengalaman maupun ciri kejiwaan lain setiap individu. Seseorang yang merasa asing di tengah keluasan dan keriuhan ibu kota mungkin memaknai ibu kota sebagai “kota belantara”, sementara para perantau akan memaknainya sebagai kota “kota harapan dan impian”.
            Sehubungan dengan kegiatan signifikansi secara individual tersebut, hubungan antara bahasa dengan pikiran akhirnya memang tidak pernah berada dalam situasi “vakum”. Disebut demikian karena kegiatan signifikasi atau “penunjukan dan penghubungan”, selain menunjuk pada kekinian, juga menunjuk pada masa lalu dan yang akan datang. Dalam situasi demikian itulah akhirnya realitas luar yang terekam secara arbitrer lewat bahasa, tertanggapi dan terpilah lewat kesan dan kondisi kejiwaan penanggapnya. Karena hubungan antara realitas dengan bahasa memang semata-mata bersifat arbitrer, maka realitas dalam kesadaran yang terekam lewat bahasa memiliki potensi untuk senantiasa diolah, dimengerti secara terus-menerus, tanpa henti.
            Dari sejumlah uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa dengan pikiran memiliki hubungan sangat erat. Manusia sebagai animal symbolicum memiliki bahasa bukan hanya untuk media berpikir, melainkan masuk lebih dalam sehingga menjadi elemen yang melangsungkan kegiatan berpikir itu sendiri. Dalam situasi demikian itulah dikenal adanya sebutan “tirani kata” karena kegiatan abstraksi, pengambilan keputusan, maupun dalam kegiatan yang dilakukan, manusia senantiasa dilingkupi kata-kata.


2.3.2 Bahasa Sebagai Struktur Formal Realitas
            Seperti kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, dalam mengenang, melamun, membandingkan, maupun dalam usaha memahami sesuatu, kita selalu berhubungan dengan realitas tertentu. Realitas itu mungkin bagian dari masa lalu atau objek tertentu secara langsung diamati dalam kekinian.
            Sesuai dengan keberadaan struktur formal bahasa sebagai wakil realitas secara arbitrer, maka akhirnya perolehan makna, selain dibedakan antara makna intensional, juga dibedakan antara makna ekstensional; selain terdapat makna konseptual juga terdapat makna referensial. Dari adanya keterbatasan bahasa dalam mewakili realitas yang mungkin juga menjadi salah satu bukti bahwa bahasa memang khas kreasi manusiawi, maka linguistik akhirnya memang lebih banyak berfokus pada masalah, “apakah kata maupun struktur kebahasaan itu bermakna”, dan bukan pada masalah “apakah makna dari kata atau struktur kebahasaan”?.
            Terdapatnya kenyataan bahwa hubungan antara bahasa dan realitas semata-mata bersifat arbitrer, kenyataan bahwa bahasa selain memiliki sifat vagueness (kesamaran/ketidakjelasan), inexplicitness (ketidaktegasan), juga memiliki ketaksaan (kegandaan makna), dapat dimaklumi bila struktur formal bahasa memiliki keterbatasan dalam mewakili realitas. Pernyataan seperti, “aduh, indahnya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata”. Pada sisi lain juga memberikan gambaran keterbatasan bahasa dalam mewakili fenomena yang telah diwarnai unsur emotif.
            Memindahkan realitas luar ke dalam struktur formal bahasa, dengan demikian, tidak pernah mampu merebut keseluruhan aktualitasnya, tetapi hanya mengambil berbagai kemungkinan yang dapat diidentifikasi. Dalam menyusun proposisi tentang “perbedaan mahasiswa laki-laki dengan perempuan”, misalnya, penyusun pastilah berusaha memperoleh jaringan hubungan: ciri komponen, pemarkah, dan pembedanya. Dasar penentuan jaringan tersebut pastilah bukan pada “kelas umum” laki-laki dan perempuan berbagai ciri referen yang dimiliki, melainkan pada kesatuan referen dengan atribut mahasiswa. Seandainya mahasiswa laki-laki diberi symbol ML, ciri atau atribut yang diberikan untuk ML adalah x, maka x1, x2, x3 ……xn = ML. Begitu pula seandainya mahasiswa perempuan adalah MP, dan ciri yang diberikan adalah y, maka y1, y2, y 3 ….yn = MP. Apabila  ML  →~y  MP atau MP → ~ ML, maka x pada ML →~y pada MP atau y pada MP→~  x pada ML. Sesuai dengan keterbatasan struktur formal bahasa dalam mewakili realitas, sebutan x dan y untuk MP dan ML tentunya tidak pernah identik.
            Sebab itulah, memaknai struktur formal bahasa sehubungan dengan realitas acuan harus berada dalam suatu daur. Daur tersebut, seperti telah dibahas dalam kajian tentang bahasa sebagai sistem semiotika, selain melibatkan sistem kebahasaan dengan berbagai strata bentuknya, realitas sosial budaya, penutur, juga melibatkan keberadaan tanda itu sendiri sesuai dengan konteks pemakainya. Meskipun demikian, sesuai dengan keberadaan bahasa sebagai unsur primer dalam menghadirkan makna, suatu informasi bisa saja menjadi kabur atau bahkan menyimpang apabila penutur tidak mampu memilih dan menata strukturnya secara logis. Sebab itu, dalam kajian berikut ini akan dibahas masalah logika dengan bahasa berfokus pada tiga masalah utama, yakni (1) proposisi kategorial, (2) logika propossional, (3) logika predikatif

2.3.3 Proposisi Kategorial dalam Logika Bahasa
Sebagai istilah logika mengandung pengertian teknik bernalar secara benar. Kegiatan benalar tidak mungkin terlaksana apabila otak penalar berada dalam kondisi kosong. Untuk melakukan penalaran, seseorang harus memiliki pikiran, ide, konsep, pengertian, dan proposisi. Pengertian sebagai butir hasil pengolahan pikiran, ide, dan konsep dapat bertolak dari hasil pengamatan maupun abstraksi. Pengertian itu pula yang menjadi dasar proposisi sebagai pernyataan dasar yang masih berada dalam abstraksi.
            Pengertian sebagai dasar proposisi tidak bersifat tunggal karena keberadaannya selalu memiliki hubungan dengan sesuatu yang lain. Proposisi tentang ”mahasiswa perempuan itu rajin mencatat dan rapi”, misalnya selain menunjuk kepada mahasiswa, perempuan, mahasiswa perempuan, juga menunjuk pada sejumlah pengertian yang terkandung dalam kata rajin, mencatat, dan rapi. Kata yang mengandung pengertian tertentu tersebut, dalam logika lazim diistilahkan term. Bagaimana menghubungkan term yang satu dengan yang lain? Lebih lanjut dituntut adanya kemampuan mengkaitkan sejumlah term secara benar. Disebut demikian karena bentuk perangkai term yang lazim disebut konektor atau kopula, misalnya bentuk itu, yang, adalah, dari pada, dan, bukan, masing-masing memiliki cara semantik sendiri-sendiri. Sebab itu, kesalahan pemakaian juga menyebabkan penyimpangan penerimaan pesan.
            Pemilihan konektor yang tidak tepat sehingga menyebabkan timbulnya ambiguitas makna dan penyimpangan penerimaan pesan, dapat dikaji kembali pada contoh kalimat, ”Malang adalah indah”. Dihubungkan dengan adanya proposisi kategori standar, kerancuan terjadi selain karena ketidaktepatan pemakaian konektor adalah, juga disebabkan oleh tidak adanya kata “kota” sebagai term yang ditunjuk indah. Sebab itu, agar kalimat tersebut memiliki proposisi kategori standar, term yang ditunjuk oleh indah harus dimasukkan sehingga kalimat itu berbunyi, “Malang adalah kota indah”.



BAB III
PENUTUP


3.1  Kesimpulan
            Semantik adalah ilmu yang mempelajari mengenai makna kata atau kalimat. Semantik berhubungan dengan logika dan tata bahasa. Dalam semantik, logika dan tata bahasa hal yang paling adalah mengenai penalaran dan pemahaman. Jadi, pada dasarnya seseorang dituntut agar dapat berfikir atau bernalar secara logis dan kritis mengenai makna suatu kata atau kalimat yang terbentuk dalam pola-pola tata bahasa (gramatikal). Dalam logika, untuk mendapatkan kesimpulan yang benar. Syarat yang utama ialah mengumpulkan argumen-argumen. Kemudian argumen tersebut disusun secara logis sesuai dengan kaidah umum (kebiasaan). Maka kerelevanan akan terbukti kebenarannya.
            Sedangkan pada tata bahasa fungsi gramatikal berupa subjek, predikat, objek, dan keterangan. Sedangkan kategorinya adalah nomina (kata benda), verba (kata kerja), dan adjektiva (kata sifat). Sedangkan pada bagian peran mencakup peran gramatikal seperti peran agentif (sebagai pelaku), pasien (sebagai penderita), objek (sebagai sasaran), benefaktif (sebagai kegitan/ melakukan pekerjaan terhadap orang lain), lokatif (sebagai tempat/ lokasi), instrumental (sebagai alat) dan sebagainya.

3.2  Saran
            Dalam menganalisis suatu permasalahan sangat dibutuhkan penalaran serta pemahaman. Oleh karena itu sebagai mahasiswa, sangat dituntut untuk berfikir kritis dan sistematis. Semoga dengan makalah ini dapat membantu anda untuk lebih berfikir kritis terutama mengenai masalah semantik, logika dan tata bahasa.




DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Pateda, Mansoer. 1989. Semantik Leksikal. Flores: Nusa Indah.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Pusat Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
Wahab, Abdul. 1996. Teori Semantik. Airlangga University Press.
Http://anwarwan43-anwar.blogspot.com/2012/04/semantik-logika-dan-tata-bahasa.html


1 komentar: