DISUSUN OLEH
KELOMPOK 4
DIAN V SITOMPUL 2113111021
ENGELINA L.P MANULLANG 2113111025
EPRIANA YULIANTI PURBA 2113111026
EVI ERNAWATI LUBIS 2113111030
FANNY OCTAVIANI 2113111032
HOTDIANA TAMBUNAN 2113111037
MUHAMMAD FACHRI PRATAMA 2113111049
RIA MUSTIKA 208311105
RIA MUSTIKA 208311105
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2012
KATA
PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmad-Nya bagi penulis
sehingga berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul ”Hubungan Semantik,
Logika dan Tata Bahasa”. Tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas mata
kuliah ”Semantik”
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
dosen pembimbing mata kuliah, Ibu Muharrina Harahap S.S, M.Hum yang telah
memberikan bimbingan dan saran yang berharga dalam penyusunan makalah ini.
Sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Terkhusus kepada penulis,
pastinya mendapatkan pengetahuan yang baru.
Penulis berharap makalah ini dapat
menambah wawasan pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, hal ini dari segi penyusunan maupun dari segi materi. Oleh karena itu
dengan rasa rendah hati dan hormat penulis menerima setiap kritik dan saran
yang bersifat membangun yang dapat memperbaiki dan menyempurnakan makalah ini.
Kelompok 4 Reguler B 2011
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................................. i
Daftar Isi........................................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................... 1
1.3 Tujuan………………..……......................................................................................... 1
BAB II
HUBUNGAN SEMANTIK,
LOGIKA DAN TATA BAHASA
2.1 Hubungan Semantik dengan Logika…….................................................................... 2
2.2 Hubungan Semantik dengan Tata
Bahasa…………................................................... 4
2.3 Hubungan Semantik, Logika dan Tata Bahasa……................................................... 5
2.3.1 Antara Bahasa dengan Pikiran…………………..…………………………… 5
2.3.2
Bahasa
Sebagai Struktur Formal Realitas…………………..………………... 7
2.3.3
Proposisi Kategorial dalam Logika
Bahasa……………………………………. 8
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan................................................................................................................... 10
3.2
Saran............................................................................................................................. 10
Daftar Pustaka................................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semantik
sebagai salah satu komponen bahasa, semakin diperhatikan orang karena objek
studinya yaitu makna, dianggap sangat sukar ditelusuri dan dianalisis
strukturnya. Makna sangat bersifat arbiter, berbeda dengan morfem atau kata
sebagai sasaran dalam studi morfologi yang strukturnya tampak jelas dan dapat
disegmen-segmenkan. Namun dewasa ini, keadaan itu sudah berbalik. Kini semantik
dianggap sebagai komponen bahasa yang tidak dapat dilepaskan dan pembicaraan
linguistik. Makna sebagai objek studi semantik ini memang sangat rumit
persoalannya, bukan hanya menyangkut persoalan dalam bahasa-bahasa saja tetapi
juga menyangkut persoalan luar bahasa.
Dalam kehidupan manusia bahasa bukan
hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga menyertai proses
berfikir manusia dalam usaha memahami dunia luar, baik secara objektif maupun
imajinatif. Sebab itu, bahasa selain memiliki fungsi komunikatif, juga
memiliki fungsi kognitif dan fungsi emotif. Dengan kata lain, bahasa selain
memiliki fungsi instrumental, regulator, interaksional, personal, dan
informatif, juga memiliki fungsi heuristik dan imajinatif.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
hubungan semantik dengan logika ?
2. Bagaimana
hubungan semantik dengan tata bahasa ?
3. Bagaimana
hubungan semantik, logika dan tata bahasa ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat lebih mengetahui hubungan
antara semantik, logika dan tata bahasa serta diharapkan mahasiswa dapat
berfikir kritis, sistematis dan logis.
BAB II
HUBUNGAN SEMANTIK
DENGAN LOGIKA DAN TATA BAHASA
2.1 Hubungan Semantik dengan Logika
Semantik adalah ilmu tentang makna kata dan kalimat, pengetahuan mengenai
seluk-beluk dan pergeseran arti kata (KBBI, 2007: 1025). Sedangkan logika
adalah pengetahuan tentang kaidah berpikir atau jalan pikiran yang masuk akal (KBBI,
2007: 680). Logika
adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang penalaran yang
berhubungan dengan pembuktian validitas suatu argumen. Logika menggunakan
metode penalaran berdasarkan validitas suatu argumen. Logika memberikan suatu
metode atau cara yang sistematis dalam berpikir (reasoning). Terdapat dua metode cara berpikir yang digunakan, yaitu
logika proposisi (proposisional) dan
predikat (predikatif). Dengan
menggunakan logika diharapkan dapat mengurangi kesalahan tindakan dalam
menghadapi dan menyelesaikan masalah, sehingga masalah tersebut dapat diselesaikan
dengan suatu jawaban yang dikerjakan dengan sistematis. Dalam analisis bahasa
semantik logika mengkaji sistem makna yang dilihat dari logika, mangacu kepada
kata pengkajian makna atau penafsiran ajaran, terutama yang dibentuk dalam
sistem logika yang disebut semantik.
Penentuan sifat makna dalam batas-batas kondisi kebenaran
sering diartikan sebagai menyamakan makna dengan bentuk logis dari suatu
kalimat. Agar dapat melihat persamaan tersebut, maka harus dilakukan
pertimbangan tentang apa yang biasanya disebutkan dengan istilah bentuk logis.
Hal yang paling utama adalah kembali pada tujuan utama yaitu menyusun logika.
(Wahab, 1996: 28)
Contoh:
a . Darwin
seorang manusia atau Darwin tidak mati.
Darwin mati.
Karena itu Darwin seorang
manusia.
b.
Darwin
adalah seorang manusia dan semua manusia mati.
Karena itu Darwin mati.
Kebenaran wajib dari
penjelasan diatas adalah:
Jika Darwin itu manusia dan
semua manusia mati, maka Darwin mati.
Seorang
linguis tidak memperhatikan sistem bahasa dari segi logika. Sedangkan seorang
filsuf melihatnya dari segi logika (Pateda, 1989: 22). Bagian dalam penjelasan
di atas ialah menyusun kembali bentuk argumen yang logis (pernyataan yang
secara wajib benar). Kemudian, untuk menunjukkan kevaliditasan argumen
pernyataan yang dipertanyakan harus sesuai dengan kaidah umum.
Struktur
semantik serupa dengan struktur logika, berupa ikatan tidak berkala antara
predikat (pre) dengan seperangkat argumen (arg) dalam suatu proposisi (pro).
Strukturnya dapat dilihat melalui gambar berikut:
Proposisi
Predikat Argumen-1 Argumen-2 Argumen-n
Argumen adalah segala sesuatu yang dibicarakan.
Sedangkan, predikat menghubungkan atau menunjukkan hubungan semuanya. Misalnya
kalimat “Nenek minum jus”. Strukturnya adalah :
Proposisi
Predikat Argumen-1 Argumen-2
Minum
Nenek Jus
Jadi,
kalimat tersebut memiliki predikat yang berargumen dua : minum (nenek, jus).
Dari
contoh tersebut dapat dikatakan bahwa dalam menganalisi makna kalimat, teori
generatif semantik berusaha mengabstraksikan predikatnya dan menentukan
argumen-argumennya.
2.1 Hubungan Semantik dengan Tata Bahasa
Ilmu bahasa terdiri atas empat tataran, yaitu
fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dari keempat cabang ilmu tersebut
dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu tata bahasa (gramatika) atau
struktur bahasa dan di luar gramatika atau di luar struktur bahasa. Cabang ilmu
bahasa yang mencakup tata bahasa atau struktur bahasa (gramatika) adalah
morfologi dan sintaksis. Morfologi adalah cabang dari linguistik yang
mempelajari struktur intern kata, serta proses-proses pembentukaannya.
Sedangkan sintaksis adalah studi mengenai hubungan kata dengan kata dalam
membentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat.
Satuan-satuan morfologi, yaitu morfem dan kata, maupun satuan sintaksis yaitu
kata, frase, klausa, dan kalimat, jelas ada maknanya. (Chaer, 2002: 9). Oleh
karena itu, pada tataran ini masalah-masalah semantik yaitu yang disebut
semantik gramatikal, objek studinya adalah makna-makna gramatikal dari tataran
tersebut.
Semantik yang berhubungan dengan
sintaksis disebut dengan semantik sintaktikal. Dalam semantik sintaksial objek
yang menjadi studinya adalah fungsi gramatikal, kategori gramatikal, dan peran
gramatikal.
Perhatikan bagan berikut ini :
Perhatikan bagan berikut ini :
S
|
P
|
O
|
K
|
a) Fungsi
b) Kategori
c) Peran
Fungsi gramatikal berupa subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K). Sedangkan kategorinya adalah nomina (kata benda), verba (kata kerja), dan adjektiva (kata sifat). Sedangkan pada bagian peran mencakup peran gramatikal seperti peran agentif (sebagai pelaku), pasien (sebagai penderita), objek (sebagai sasaran), benefaktif (sebagai kegitan/ melakukan pekerjaan terhadap orang lain), lokatif (sebagai tempat/ lokasi), instrumental (sebagai alat) dan sebagainya.
Contoh :
Kalimat
|
Si
udin
|
menjaga
|
adiknya
|
di
rumah sakit
|
Fungsi
|
subjek
|
predikat
|
objek
|
keterangan
|
Kategori
|
nomina
|
verba
|
nomina
|
nomina
|
Peran
|
agen
|
benefaktif
|
pasien
|
lokatif
|
2.3
Hubungan Semantik, Logika dan Tata Bahasa
Semantik, logika dan tata bahasa memiliki keterkaitan yang
sangat erat. Sebab, antara makna, logika (penalaran) dibutuhkan dalam proses
tata bahasa (sintaksis dan morfologi). Untuk lebis jelasnya akan dipaparkan
dalam beberapa poin sebagai berikut:
2.3.1 Antara Bahasa dengan Pikiran
Informasi lewat bahasa, selain hanya
menunjuk, pada struktur kebahasaan itu sendiri, juga mampu menunjuk pada
sesuatu yang lain, yang mungkin saja kompleks. Pernyataan seperti Bogor, siang
dan malam diguyur hujan, mengandung pengertian “Bogor siang dan malam diguyur hujan”. Akan tetapi, pernyataan
seperti (1) Nilai kehidupan manusia
ditentukan dirinya sendiri, (2) Kehidupan ini hanya permainan dan cobaan, maupun
(3) Kehidupan abadi itu ada setelah kehidupan itu sendiri, ternyata
tidak mampu menunjuk satu realitas objektif secara pasti. Pernyataan itu
menunjukkan pada sesuatu yang lain yang dibentuk juga oleh bahasa itu sendiri.
Dalam hal demikian, bahasa tidak lagi berkaitan dengan konsep objektif tetapi berkaitan dengan konsep mental.
Bagaimana
hubungan antara bahasa dengan pikiran, sehingga menghadirkan konsep mental yang
akhirnya membentuk mikrokosmos seseorang maupun pandangan hidup suatu
masyarakat, telah menjadi bahan kajian sejak masa Aristoteles. Dalam teorinya
Aristoteles mengungkapkan bahwa kata-kata sebagai alat ujaran dapat digunakan
sebagai penanda sikap maupun kejiwaan. Meskipun tuturan setiap orang itu tidak
sama, bentuk hubungan mental setiap orang dengan dunia luar lewat bahasa pada
dasarnya sama.
Pandangan di atas berbeda dengan pendapat yang terkandung di dalam teori
relativitas bahasa. Realitas luar itu sepenuhnya bersifat objektif, tanggapan
terhadapnya lewat bahasa senantiasa bersifat subjektif. Subjektivitas
penanggapan itu ditentukan oleh pandangan, pengalaman, dorongan, keinginan,
maupun suasana emosi penanggap. Sebab itu, meskipun dalam komunikasi setiap
anggota masyarakat bahasa menggunakan bentuk kebahasaan secara objektif, bahasa
yang digunakan untuk menanggapi, mengenal, dan memahami realitas lewat
kesadaran batin tersebut senantiasa bersifat subjektif.
Hasil signifikansi menjadi berbeda-beda karena meskipun kata ibu kota,
misalnya, oleh masyarakat tutur bahasa Indonesia secara umum dapat diacukan
pada “kota Jakarta”, tanggapan masing-masing individu secara relatif ditentukan
oleh pengalaman maupun ciri kejiwaan lain setiap individu. Seseorang yang
merasa asing di tengah keluasan dan keriuhan ibu kota mungkin memaknai ibu kota
sebagai “kota belantara”, sementara para perantau akan memaknainya sebagai kota
“kota harapan dan impian”.
Sehubungan dengan kegiatan signifikansi secara individual tersebut, hubungan
antara bahasa dengan pikiran akhirnya memang tidak pernah berada dalam situasi
“vakum”. Disebut demikian karena kegiatan signifikasi atau “penunjukan dan
penghubungan”, selain menunjuk pada kekinian, juga menunjuk pada masa lalu dan
yang akan datang. Dalam situasi demikian itulah akhirnya realitas luar yang
terekam secara arbitrer lewat bahasa, tertanggapi dan terpilah lewat kesan dan
kondisi kejiwaan penanggapnya. Karena hubungan antara realitas dengan bahasa
memang semata-mata bersifat arbitrer, maka realitas dalam kesadaran yang
terekam lewat bahasa memiliki potensi untuk senantiasa diolah, dimengerti
secara terus-menerus, tanpa henti.
Dari sejumlah uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa dengan pikiran
memiliki hubungan sangat erat. Manusia sebagai animal symbolicum memiliki bahasa bukan hanya untuk media berpikir,
melainkan masuk lebih dalam sehingga menjadi elemen yang melangsungkan kegiatan
berpikir itu sendiri. Dalam situasi demikian itulah dikenal adanya sebutan
“tirani kata” karena kegiatan abstraksi, pengambilan keputusan, maupun dalam
kegiatan yang dilakukan, manusia senantiasa dilingkupi kata-kata.
2.3.2 Bahasa Sebagai Struktur Formal Realitas
Seperti kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, dalam mengenang, melamun,
membandingkan, maupun dalam usaha memahami sesuatu, kita selalu berhubungan
dengan realitas tertentu. Realitas itu mungkin bagian dari masa lalu atau objek
tertentu secara langsung diamati dalam kekinian.
Sesuai dengan keberadaan struktur formal bahasa sebagai wakil realitas secara
arbitrer, maka akhirnya perolehan makna, selain dibedakan antara makna
intensional, juga dibedakan antara makna ekstensional; selain terdapat makna
konseptual juga terdapat makna referensial. Dari adanya keterbatasan bahasa
dalam mewakili realitas yang mungkin juga menjadi salah satu bukti bahwa bahasa
memang khas kreasi manusiawi, maka linguistik akhirnya memang lebih banyak
berfokus pada masalah, “apakah kata maupun struktur kebahasaan itu bermakna”,
dan bukan pada masalah “apakah makna dari kata atau struktur kebahasaan”?.
Terdapatnya kenyataan bahwa hubungan antara bahasa dan realitas semata-mata
bersifat arbitrer, kenyataan bahwa bahasa selain memiliki sifat vagueness (kesamaran/ketidakjelasan), inexplicitness
(ketidaktegasan), juga memiliki ketaksaan (kegandaan makna), dapat dimaklumi
bila struktur formal bahasa memiliki keterbatasan dalam mewakili realitas.
Pernyataan seperti, “aduh, indahnya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata”. Pada
sisi lain juga memberikan gambaran keterbatasan bahasa dalam mewakili fenomena
yang telah diwarnai unsur emotif.
Memindahkan realitas luar ke dalam struktur formal bahasa, dengan
demikian, tidak pernah mampu merebut keseluruhan aktualitasnya, tetapi hanya
mengambil berbagai kemungkinan yang dapat diidentifikasi. Dalam menyusun
proposisi tentang “perbedaan mahasiswa laki-laki dengan perempuan”, misalnya,
penyusun pastilah berusaha memperoleh jaringan hubungan: ciri komponen, pemarkah, dan pembedanya. Dasar
penentuan jaringan tersebut pastilah bukan pada “kelas umum” laki-laki dan
perempuan berbagai ciri referen yang dimiliki, melainkan pada kesatuan referen
dengan atribut mahasiswa. Seandainya mahasiswa laki-laki diberi symbol ML, ciri
atau atribut yang diberikan untuk ML adalah x, maka x1, x2, x3
……xn = ML. Begitu pula seandainya mahasiswa perempuan adalah
MP, dan ciri yang diberikan adalah y, maka y1, y2, y
3 ….yn = MP. Apabila ML →~y MP atau MP → ~
ML, maka x pada ML →~y pada MP atau y pada MP→~ x pada ML. Sesuai dengan
keterbatasan struktur formal bahasa dalam mewakili realitas, sebutan x dan y
untuk MP dan ML tentunya tidak pernah identik.
Sebab
itulah, memaknai struktur formal bahasa sehubungan dengan realitas acuan harus
berada dalam suatu daur. Daur tersebut, seperti telah dibahas dalam kajian
tentang bahasa sebagai sistem semiotika, selain melibatkan sistem kebahasaan
dengan berbagai strata bentuknya, realitas sosial budaya, penutur, juga
melibatkan keberadaan tanda itu sendiri sesuai dengan konteks pemakainya. Meskipun
demikian, sesuai dengan keberadaan bahasa sebagai unsur primer dalam
menghadirkan makna, suatu informasi bisa saja menjadi kabur atau bahkan
menyimpang apabila penutur tidak mampu memilih dan menata strukturnya secara
logis. Sebab itu, dalam kajian berikut ini akan dibahas masalah logika dengan
bahasa berfokus pada tiga masalah utama, yakni (1) proposisi kategorial, (2)
logika propossional, (3) logika predikatif
2.3.3 Proposisi Kategorial dalam Logika Bahasa
Sebagai
istilah logika mengandung pengertian
teknik bernalar secara benar. Kegiatan benalar tidak mungkin terlaksana apabila
otak penalar berada dalam kondisi kosong. Untuk melakukan penalaran, seseorang
harus memiliki pikiran, ide, konsep, pengertian, dan proposisi. Pengertian
sebagai butir hasil pengolahan pikiran, ide, dan konsep dapat bertolak dari
hasil pengamatan maupun abstraksi. Pengertian itu pula yang menjadi dasar
proposisi sebagai pernyataan dasar yang masih berada dalam abstraksi.
Pengertian sebagai dasar proposisi tidak bersifat tunggal karena keberadaannya
selalu memiliki hubungan dengan sesuatu yang lain. Proposisi tentang ”mahasiswa
perempuan itu rajin mencatat dan rapi”, misalnya selain menunjuk kepada
mahasiswa, perempuan, mahasiswa perempuan, juga menunjuk pada sejumlah
pengertian yang terkandung dalam kata rajin, mencatat, dan rapi. Kata yang
mengandung pengertian tertentu tersebut, dalam logika lazim diistilahkan term.
Bagaimana menghubungkan term yang satu dengan yang lain? Lebih lanjut dituntut
adanya kemampuan mengkaitkan sejumlah term secara benar. Disebut demikian
karena bentuk perangkai term yang lazim disebut konektor atau kopula, misalnya bentuk
itu, yang, adalah, dari pada, dan, bukan, masing-masing memiliki cara
semantik sendiri-sendiri. Sebab itu, kesalahan pemakaian juga menyebabkan
penyimpangan penerimaan pesan.
Pemilihan konektor yang tidak tepat sehingga menyebabkan timbulnya ambiguitas
makna dan penyimpangan penerimaan pesan, dapat dikaji kembali pada contoh
kalimat, ”Malang adalah indah”. Dihubungkan dengan adanya proposisi kategori
standar, kerancuan terjadi selain karena ketidaktepatan pemakaian konektor
adalah, juga disebabkan oleh tidak adanya kata “kota” sebagai term yang
ditunjuk indah. Sebab itu, agar kalimat tersebut memiliki proposisi kategori
standar, term yang ditunjuk oleh indah harus dimasukkan sehingga kalimat itu
berbunyi, “Malang adalah kota indah”.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Semantik
adalah ilmu yang mempelajari mengenai makna kata atau kalimat. Semantik
berhubungan dengan logika dan tata bahasa. Dalam semantik, logika dan tata
bahasa hal yang paling adalah mengenai penalaran dan pemahaman. Jadi, pada
dasarnya seseorang dituntut agar dapat berfikir atau bernalar secara logis dan
kritis mengenai makna suatu kata atau kalimat yang terbentuk dalam pola-pola tata
bahasa (gramatikal). Dalam logika, untuk mendapatkan kesimpulan yang benar.
Syarat yang utama ialah mengumpulkan argumen-argumen. Kemudian argumen tersebut
disusun secara logis sesuai dengan kaidah umum (kebiasaan). Maka kerelevanan
akan terbukti kebenarannya.
Sedangkan pada tata bahasa fungsi gramatikal
berupa subjek, predikat, objek, dan keterangan. Sedangkan kategorinya adalah
nomina (kata benda), verba (kata kerja), dan adjektiva (kata sifat). Sedangkan
pada bagian peran mencakup peran gramatikal seperti peran agentif (sebagai
pelaku), pasien (sebagai penderita), objek (sebagai sasaran), benefaktif
(sebagai kegitan/ melakukan pekerjaan terhadap orang lain), lokatif (sebagai
tempat/ lokasi), instrumental (sebagai alat) dan sebagainya.
3.2 Saran
Dalam
menganalisis suatu permasalahan sangat dibutuhkan penalaran serta pemahaman.
Oleh karena itu sebagai mahasiswa, sangat dituntut untuk berfikir kritis dan
sistematis. Semoga dengan makalah ini dapat membantu anda untuk lebih berfikir
kritis terutama mengenai masalah semantik, logika dan tata bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul.
2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Pateda,
Mansoer. 1989. Semantik Leksikal. Flores:
Nusa Indah.
Pateda,
Mansoer. 2001. Semantik Leksikal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Pusat Bahasa.
2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid
III. Jakarta: Balai Pustaka.
Wahab, Abdul.
1996. Teori Semantik. Airlangga
University Press.
Http://anwarwan43-anwar.blogspot.com/2012/04/semantik-logika-dan-tata-bahasa.html
Terima kasih untuk semua informasinya gan belajar bahasa indonesia
BalasHapus